Kenangan dalam Bus |
Sabtu, 13 August 2011 23:09 |
Cerpen Raudal Tanjung Banua
AKU
merantau, seolah semuanya telah menjadi lampau. Tapi tidak. Semuanya
baru dimulai ketika ingatanku terasa bangkit kembali di sepanjang jalan
yang kulalui. Telah aku seberangi selat dan kulewati kota-kota, dalam
sebuah bus tua yang berderak sepanjang jalan, sepanjang siang dan
malam. Meskipun dioper bus tiga kali, tetap bus tua juga yang akhirnya
membawa diriku dari kota ke kota.
Itu
terjadi sepuluh tahun yang lalu, hari pertama aku menginjakkan kaki di
luar pulau dan hari pertama aku “resmi” menjadi perantau. Perantau
pemula. Hingga bertahun-tahun kemudian, ketika sesekali kurindui
kampung-halaman, kenangan itu datang bagai dihantar bus tua yang
menerobos begitu saja dinding-dinding ingatanku yang rawan.
Ya, tiap
kali mengingat bus yang melaju, kenanganku berebut tumbuh. Pohon-pohon
yang berlarian bagai kemunculan tangan-tangan yang pernah hilang dalam
lambai, walaupun kusadari hanya sesaat. Tak pernah menemani ke mana aku
pergi, karena satu per satu mesti tertinggal sepanjang perjalanan— di
posisinya semula berdiri.
Seperti
deretan Bukit Barisan yang semula seperti hendak memintas kepergianku,
tapi perlahan tertutup kabut dan senja, akhirnya lenyap saat bus
memasuki perbatasan. Meluncur lebih deras di jalan lintas Sumatera.
Lalu berganti pohon-pohon karet yang tegar berderet sepanjang daratan
Jambi, kemudian hilang berganti hamparan lahan transmigran selepas
Lahat menjelang Lampung. Ah, semua menanti, semua dilewati, begitu fana!
Aku
mendesah, ingin menumpahkan keluh-kesah, tapi entah pada siapa. Ya,
pada siapakah aku harus berbagi, melepas beban yang mengimpit hati?
Seorang perempuan setengah baya ada di sampingku, mukanya bulat dan
rambutnya tersanggul besar. Bukankah ini Mak Gaek, orang yang paling
tepat kuajak berbagi?
Ya, ya,
Mak Gaek, orang yang paling mengerti dan selalu membantuku dalam
kesulitan. Aku ingat ketika sekolah mengadakan kemah persahabatan ke
Kamang, Bukittinggi, orang tuaku tidak bisa memberi biaya berangkat.
Seperti biasa, aku datangi Mak Gaek, dan hari itu juga perempuan itu
memanggil tukang beruk untuk memetik kelapa di kebun, dan sekadar iuran
keberangkatan cukuplah. Begitulah Mak Gaek, selalu tanggap pada
kesulitanku, kadang melebihi orang tuaku sendiri. Karenanya, pada Mak
Gaeklah aku selalu datang untuk setiap urusan yang kusadari tak bisa
teratasi di rumah. Maklum, adik-adikku juga butuh biaya ini-itu di
sekolah, dan sebagai anak tertua aku sering mengalah.
Bahkan,
ketika aku mengabarkan akan pergi, meninggalkan kampung dan memutuskan
diri untuk pergi merantau, kusaksikan Mak Gaek tertegun. Perlahan ia
gapai pundakku, dan berkata berat, "Untuk apa wa'ang ikut merantau? Tetaplah di kampung, wa’ang tak akan mati kelaparan."
Kau
mungkin menduga, betapa cengengnya perempuan itu! Sebagai seorang tua
ia pasti sudah tahu bahwa usia laki-laki Minang selalu berujung pada
perantauan, dan akhirnya nanti kepulangan. Setinggi-tinggi terbang
bangau, kata orang. Tapi tidak bagi perempuan itu. Dua anaknya sudah ia
relakan pergi, ia lepas secara baik-baik sebagai perantau, tapi sampai
kini tak pernah kembali.
"Dan kini wa'ang akan pergi, Kudal? Murad pergi, Ruben pergi...Dan ayek sekarang sakit..."
Sulit
menjelaskan mengapa aku akhirnya juga mesti pergi. Kalau hanya buat
hidup makan-minum, tanah tempat aku dilahirkan memang masihlah setia
menumbuhkan tunas yang ditugal, memancarkan air di tiap pancuran. Tapi
lihatlah, mata orang-orang memancarkan api, jika masih tetap bertahan
di kampung tanpa kegiatan yang jelas. Dan lagi pula, hidupku tidak akan
berada dalam tempurung kampung buat selama-lamanya...
Maka
segeralah aku bergegas menuruni jenjang rumah Mak Gaek. Perempuan itu
menarik ujung kebaya lusuhnya dan mencelupkan ke matanya yang sebak.
Pula ditimpali batuk-batuk nenek yang terbaring sakit di dalam rumah.
Ingin rasanya aku berbalik, tapi tidak. Hanya dari jarak jauh aku
menatap Mak Gaek.
"Lho, kenapa, Den?"
Astaga, masih saja aku merasa Mak Gaek duduk di sampingku!
"Oh, maaf, Mbok, saya hanya ingin minta balsem," cepat aku berdalih.
"Monggo,
pakai saja," perempuan yang duduk di sebelahku itu menyerahkan balsem.
Aku menerimanya dan mulai berpura-pura menggosok tengkuk. Kuedar
pandangan ke luar jendela bus yang melaju. Tiba-tiba semua terasa beku.
Pohon-pohon, tiang listrik, tambak udang dan rumah-rumah pantai utara.
Aku merasa terdampar ke negeri asing. Meskipun lewat sekeping papan
nama di tepi jalan aku bisa membaca—Cirebon—tetap saja udara asin
bergaram membuatku canggung.
Susah-payah kualihkan kembali pandangan ke dalam bus, kepada perempuan setengah baya itu. Sungguh, aku tidak bisa berpaling!
***
SESUNGGUHNYA,
perempuan setengah baya yang duduk di sampingku waktu itu, juga tampak
gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Sekali waktu, saat aku mencuri
pandang padanya, perempuan bersanggul besar itu tampak sedang mengusap
pipinya yang mulai keriput. Ingin aku bertanya, lebih dari sekadar
berbasa-basi meminta balsem. Tapi tak berani pula. Terlebih sejak
pertama kali kulihat perempuan itu persis Mak Gaek. Dan kadang, untuk
menghibur hati di perjalanan, aku betul-betul mengandaikan perempuan
itu sebagai Mak Gaekku. Tak lebih tak kurang. Lumayan membuatku sedikit
tenang, sebab perempuan yang menyayangiku toh ikut bersamaku di bus
yang melaju...
Tapi,
siapa sebenarnya perempuan ini? Aku mulai bertanya-tanya sendiri. Di
mana tadi ia naik? Seingatku, kami sudah bersama sejak dari Lampung,
ketika aku dioper ke bus lain di Terminal Rajabasa. Memang masih bus
dari jawatan yang sama. Dan ketika di Jakarta aku dioper ke bus DAMRI
lainnya, entah kebetulan atau tidak, perempuan itu juga dioper dan
tetap duduk sebangku dengan diriku. Ke manakah perempuan ini menuju?
Kenapa hanya sendiri? Ke mana suami, anak atau ponakannya? Padahal
perjalanannya cukup jauh. Sungguh, aku ingin tahu, tapi tetap tidak
berani untuk sekadar bertanya dari mana hendak ke mana kepada perempuan
itu.
Bus
akhirnya berhenti di sebuah rumah makan di luar kota Cirebon. Para
penumpang turun, mengaso dan makan. Sopir bus yang berkeringat tampak
makan lebih awal, tanpa menunggu kernetnya yang memeriksa ban dan melap
kaca depan. Aku ingin makan, tapi sebenarnya belum terlalu lapar.
Perjalanan telah cukup mengenyangkan mataku, dan kini aku ingin
berdamai dengan perut supaya bisa sedikit berhemat di perjalanan.
Aku
pesan saja mi gelas di sebuah kedai kecil di samping rumah makan. Kedai
itu merangkap sebagai wartel. Di wartel itulah, dari balik kacanya yang
buram, aku saksikan perempuan yang sebangku denganku itu tengah
menelepon. Dan meskipun suaranya tak terdengar karena kaca kedap suara,
tapi wajahnya tampak menahan tangis. Sampai akhirnya ia tampak
benar-benar menangis. Siapakah yang ia telepon? Apakah yang
dibicarakannya? Aku tak tahu, tapi sangat ingin tahu. Tapi bagaimana
mulai bertanya padanya?
Di bus
yang kembali melaju, perempuan itu masih tertunduk menyembunyikan
matanya yang sembab. Saat itulah aku beranikan diri bertanya, "Ada apa,
Mbok? Maaf, siapa tahu ada yang bisa saya bantu?"
Perempuan
itu agak terkejut, tapi ia sembunyikan ekspresinya. Ia hanya menatap
lama, dan tanpa diduga akhirnya sesungukan kembali.
"Kenapa, Mbok?" ulangku.
"Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Si Mbok, wajah anak persis anak saya..."
"Anak, Mbok?"
"Ya. Jika ia saya jumpai, pasti sudah sebesar anak ini."
"Di mana dia sekarang, Mbok?"
"Ia pergi ke Sumantrah.
Waktu itu ia baru tamat SMA. Katanya ada pekerjaan di Jambi. Hampir
empat tahun ia pergi. Tak pernah pulang. Akhirnya Mbok beranikan diri
mencari alamatnya, di kebun karet Muarobungo. Tapi kebun karet tempat
ia dulu bekerja sudah berganti kelapa sawit dan orang di sana tak ada
yang mengenalnya. Tidak mengenal anak saya. Oalah, Nak, Nak...Akhirnya,
ya, saya harus kembali pulang ke Semarang..."
Aku memicingkan mata. Pedih.
"Anak mau ke mana?" perempuan itu beralih tanya.
"Ke Denpasar, Mbok."
"Melancong atau kerja?"
"Merantau," gugup aku mengucapkan kata itu. Terdengar abstrak sebenarnya. Perempuan itu diam, mengerti kegugupanku.
"Tadi
barusan Si Mbok telepon keluarga di Semarang, bahwa mencari Nurdiyanto
memanglah sia-sia," perempuan itu mencoba mengalihkan pembicaraan
meskipun berat baginya.
Ingin
aku berkata balik, bahwa wajah bulatnya sesungguhnya juga persis wajah
Mak Gaekku. Tapi tidak kulakukan. Biarlah dalam hati saja aku
menganggap demikian. Untuk perempuan itu, aku cukup berkata, "Kalau
begitu, anggaplah saya anaknya Si Mbok yang belum pulang, walau sebatas
perjalanan. Lain kali anak Mbok yang sebenarnya pasti pulang."
Perempuan
itu mengusap matanya. Senyumnya sedikit mengambang. "Terima kasih,
Nak," katanya. Kurasakan tangannya seperti ingin mengusap kepalaku,
membayangkan anaknya lanang. Namun tertahan oleh rasa risih serta
tatapan penumpang lain. Akhirnya, sepanjang jalan kami hanya saling
pandang dengan menganggap bahwa kami adalah ibu-anak yang seperjalanan.
Kami bisa bernapas lega dan lumayan mengurangi impitan beban di dada.
Ah,
rantau, ternyata tidak selalu berujung pada kepulangan, aku menarik
nafas panjang. Kurebahkan kepala di bangku bus yang berguncang. Aku
ingat anak-anak Mak Gaekku di kampung, bertahun-tahun tak pernah
terdengar kabarnya. Dan seperti anak Si Mbok yang malang ini juga,
hampir empat tahun tiada kabar berita. Lalu, bagaimanakah diriku nanti,
yang sekarang masih terombang-ambing di jalanan menuju rantauku pula?
Ah, entahlah, entahlah...
Masih
terus aku digedor pertanyaan tentang rantau, dan berkali-kali kutolak.
Sia-sia. Maka jika pertanyaan dan gedoran itu tak tertahankan, aku akan
melirik Mak Gaekku yang kini hadir di sampingku.
"Jadi,
hampir empat tahun Nurdiyanto pergi...Hmm, sebenarnya untuk ukuran
merantau belum terlalu lama, Mbok, hanya saja tanpa kabar berita," aku
buka lagi pembicaraan, pelan-pelan. Bermaksud menghibur.
"Itulah
soalnya. Kini ayahnya sakit, selalu menanyakan dia, kami harus bilang
apa, coba? Saudara-saudaranya pada angkat tangan, seperti menganggap
biasa kepergian Nurdiyanto. Padahal bagi Si Mbok ini kepergian tak
biasa."
Aku pun
ingat nenekku yang sakit di rumah gadang. Ingat ayah-ibu yang sebentar
lagi juga akan merasa kehilanganku. Ingat saudara dan orang sekampung,
pastilah bersikap masa bodoh atas kepergianku. Sebab, di kampungku,
merantau adalah upacara biasa yang tidak akan menggugah siapa pun untuk
mencari jika anak negerinya tak lagi kembali. Sialan! Aku merutuk dalam
hati, merutuki tradisi kampungku sendiri yang seperti lazim membuang
para penghuninya ke rantau orang. Dan sungguh tidak adil, jika ada yang
berhasil, maka si perantau harus membantu kampung, tanpa kampung
sendiri pernah membantu di masa-masa sulit hidup di rantau. Tak adil!
Tanpa sadar, kukepalkan tanganku dan nyaris kupukulkan ke bangku bus
yang berdebu. Ah, perantau pemula!
"Kenapa, Den?" kini perempuan itu balik bertanya.
Dan aku bergumam antara sedih dan malu, "Tidak apa-apa, Mbok. Anu, nenekku juga sedang sakit waktu aku memutuskan pergi..."
"O, ia pasti akan menanyakanmu, Nak."
Aku
mengangguk. Menahan linangan air mata. Kini, perempuan setengah baya di
sampingku ini tak hendak menahan diri. Perlahan dibekapnya bahuku,
digenggamnya bagai memegang bahu anaknya sendiri. Kami bertatapan
sedih. Dan terasa benar bahwa kami adalah ibu dan anak seperjalanan.
Namun,
ketika bus akhirnya berhenti di Semarang, dan perempuan itu mesti pamit
berdiri, saat itulah aku merasa tak bakal memiliki dirinya selamanya.
Tanpa bertukar alamat, perempuan itu turun, sedang aku melanjutkan
perjalanan ke sebuah pulau lagi di timur Tanah Air. Kami masih sempat
saling melambaikan tangan di balik kaca bus yang retak, berdebu. Dan
saat perempuan itu hilang dari pandangan, saat itulah aku tak lagi
memiliki siapa-siapa.
Hanya
deru bus. Klakson dan teriakan kernet. Lagu-lagu yang tak menghibur.
Semuanya justru jadi pertanda bahwa aku sedang menuju ke negeri entah.
***
BERTAHUN-TAHUN
kemudian, perasaan nelangsa, kehilangan dan sedih, selalu membayangiku
tiap kali teringat kenangan dalam bus tua itu. Kenangan yang tak pernah
mati, selalu hidup kembali tiap kali aku menyadari bahwa sudah lama aku
tak pulang. Tak pernah pulang. Entah jika Lebaran tahun ini. Entah.
Catatan kosa kata Minang: Mak Gaek: bibi, dalam hal ini kakak perempuan ayah. Ayek: nenek. Tukang beruk: pawang beruk (sejenis monyet) terlatih mengambil kelapa.
Wa'ang: Kau, engkau, untuk laki-laki.
|