Gambar Mei |
Minggu, 11 September 2011 00:00 |
Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
IA yang
meramalkan kematian keluarganya. Pertama ia menggambar ayahnya dan
adiknya, kemudian ibunya. Usianya masih empat belas saat itu. Entah
mengapa, suatu pagi, seolah dikejar keperluan mendesak, ia mencari-cari
pensil dan kertas. Lalu, di atas kertas itu, dengan sangat cepat dan
tanpa kedipan mata, ia menggambar sebuah kapal. Kapal itu berlayar di
atas lautan luas. Dari dek kapal itu, ayahnya jatuh ke laut.
Pada kertas yang lain, ia kembali membuat gambar yang sama. Kali ini adiknya yang terjatuh dari kapal.
Ia menunjukkan gambar-gambar itu kepada ayahnya. Hal itu membuat ayahnya membisu berkepanjangan.
Keesokan harinya, ia kembali menggambar hal yang sama. Kali ini ibunya yang jatuh ke laut.
Ayahnya
terlihat ketakutan ketika ia tunjukkan gambarnya itu. Dahi ayahnya
berkeringat, dan dengan gemetar, ayahnya berkata, “Ini tanda tidak
baik, Mei. Sangat tidak baik.”
Ia pun merasai ketakutan. Dengan khawatir ia bertanya pada ayahnya, "Apa yang tidak baik, Papi? Apa yang akan terjadi?"
Mata ayahnya terlihat murung. "Papi takut kamu akan sendiri. Papi takut Papi, Ade, dan Mami akan pergi jauh meninggalkanmu."
Ia
sungguh ketakutan mendengar itu. Ia menyesal telah membuat
gambar-gambar itu. Tapi ia tidak mampu menahan dirinya. Gambar-gambar
itu seolah memerintahnya untuk membuat mereka. Juga untuk menunjukkan
mereka pada ayahnya.
Enam bulan sejak itu, ayahnya meninggal dunia. Sakitnya mendadak. Orang bilang ayahnya kena angin lewat.
Tiga
bulan sejak ayahnya meninggal, Ade, adik satu-satunya, menghembuskan
napas terakhir. Tidak ada yang pernah menyadari kalau Ade mengidap
kanker otak.
Sejak
itu, ibunya melalu murung. Berkali-kali ia berusaha menguatkan ibunya,
tapi usahanya selalu saja gagal. Saat itu, dengan ketakutan yang
sangat, ia menyadari bahwa ibunya pun akan pergi. Dan, ia, di usianya
yang baru menginjak lima belas, akan menjadi yatim piatu dan sebatang
kara di dunia ini.
Tiga
bulan sejak Ade meninggal, bersama saudara, kenalan keluarga dan
tetangga, ia pun harus kembali pergi ke permakaman yang sama untuk
menguburkan ibunya.
Demikian ia menceritakan kisahnya kepadaku.
***
Namanya
Mei. Aku mengenalnya jauh waktu dari kemalangan yang menimpanya itu.
Kami berkuliah di universitas yang sama. Ketika baru saja bertemu, aku
merasa telah mengenalnya sejak lama.
Namanya
Mei. Ia bertubuh mungil, bermata sipit, dan berkulit putih susu.
Rambutnya sangat halus dan tipis, berwarna kemerahan dan sedikit
bergelombang. Sebuah tahi lalat menetap di dekat ujung dagunya.
Ia yang meramalkan kematian ayahku.
Ia telah
menunjukkan sebuah gambarannya padaku. Tiga ekor merpati putih—dua
merpati dewasa bersama seekor anak burung—di dalam sangkar, satu burung
terbang keluar, melalui lautan luas dan kemudian hinggap pada sebuah
masjid yang runtuh.
Mei berkata, "Akan ada alim ulama yang meninggal dunia. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya."
Karena
ayahku seorang penceramah dan imam masjid, juga karena aku anak
satu-satunya, kata-kata Mei membuatku gundah. Dan benar saja, tak lama
kemudian, ayahku meninggal dunia.
Sejak itu, bagiku, gambar-gambar yang Mei buat selalu menjadi pertanda kematian.
***
Namanya
Mei. Ia suka bicara tentang apa saja. Tapi tidak tentang
gambar-gambarnya. Hanya orang-orang dekat yang tahu tentang
gambar-gambarnya itu. Pamannya, tempat ia menumpang hidup sejak menjadi
yatim piatu, tahu tentang itu. Tapi pamannya selalu melarang ia
menggambar. "Itu mistik dan bisa membuatmu syirik. Tuhan tidak akan
mengampuni orang-orang yang syirik," demikian pamannya berkata.
Tapi Mei
berkeyakinan bahwa Tuhanlah yang memberinya kemampuan untuk menggambar
masa depan. Pun begitu, Mei tidak pernah bercerita tentang bakatnya ini
pada orang lain. Hanya aku. Ya, hanya aku yang dipercayainya.
Namun
anehnya, ada orang-orang yang mengetahui rahasia Mei. Contohnya saat
Mei dan aku pergi berbelanja ke Telukbetung. Ketika melalui sebuah
wihara, yang besar dan berwarna merah, seorang tua menyapa Mei. Orang
tua itu terlihat ringkih dan ia menyapa dalam bahasa yang kami tidak
mengerti. Mei menggelengkan kepala dan berkata ia tidak mengerti.
Orang tua itu tersenyum. "Kamu bukan orang China?" tanyanya.
Mei menggeleng.
Orang
tua itu mengangguk dan berkata, "Tapi aku tahu kamu menyimpan kekuatan.
Kamu punya kekuatan khusus yang besar. Beruntung sekali, sungguh
beruntung."
Mei ketakutan mendengar itu. Ia menggenggam tanganku dan mengajakku menjauhi orang tua itu.
Itu bukan yang terakhir.
Lain
waktu, kali ini ketika kami berniat makan siang bersama. Seorang
perempuan paruh baya, pedagang pempek di daerah Kupang Teba, tertegun
melihat Mei.
"Ncik, lu tau lu bawa hoki? Lu punya kaki dan badan tidak sama besar. Kaki lu kecil. Kekecilan untuk bawa badan. Tapi lu punya kekuatan. Kekuatan besar."
Begitu
juga di waktu yang lain, seorang bapak, yang kebetulan berteduh bersama
Mei dan aku di sebuah halte bus, terus memerhatikan Mei. Bapak itu
mendekati Mei dan berkata santun, "Maaf, Mbak. Mbak punya simpanan ya?"
"Simpanan?" tanya Mei heran.
Bapak itu tersenyum. "Simpanan ilmu, Mbak."
Mei terkejut dan sambil menutupi kepanikannya sendiri, ia berkata, "Ya, ada ilmu juga. Ilmu hukum. Saya kuliah di Unila."
Bapak
itu tertawa. "Ah, Mbak ini lucu rupanya. Tentu Mbak tahu yang saya
maksud. Kalau Mbak asah terus, ilmu Mbak bisa makin kuat."
Perjumpaan-perjumpaan
yang aneh ini terjadi berulang-ulang, hingga kerap membuat Mei
ketakutan dan khawatir akan dirinya sendiri.
***
Beberapa tahun dari kematian ayahku, Mei kembali memberiku sebuah gambar. "Jangan pergi besok,
|