Sajak-sajak Benny Arnas |
Sabtu, 10 September 2011 23:24 |
Kembang Putih di Atas Perahu
Kularung ibu di samudera yang meliuk di taman tanpa tiang
Ia hanya mengembara
dengan biduk pelepah air mata,
dengan sauh yang membuat laut berkibar dalam
belanga yang berperigi gunung-gunung
Ia tidak akan pergi ke mana-mana
bila kita tak tumbuh dari akar-akar melur
yang merambat di antara mulut-mulut kecubung;
kelopak-kelopak rindu adalah saputangan paling halus
mengalahkan sutra dan telapak kaki bidadari
Percuma mencegahnya membuka pintu karena nasihat
yang saban malam kita curi adalah katup jantungnya
yang mengayuh degupan sekencang badai
yang mengumpar bersama mantera-mantera
Maka, berkhidmatlah dengan sejumlah dosa
karena malam akan menyungkup kesedihan
yang menggunduk di dada yang makin hari makin
menyuburkan dua bukit yang sejak dulu memberi kita
air mata berwarna pejuh;
kita hisap dan lumat lamat-lamat;
lalu kau menyeruak dari akar;
aku pun mekar dan melebar;
menjadi perahu
Kulambaikan tangan pada langit yang berbuih
Kami terlampau malu menjadi benalu
yang merambat dan menggigit perdu-perdu
yang kelak menjadi sauh di dalam perut kami
Dan sauh itu, selalu kami berikan kepada
pohon-pohon yang menumbuhkan kembang,
kembang putih yang kayunya kami tebang
kami rakit menjadi perahu
(Lubuklinggau, 2011)
Seperti Apa Rasanya Jatuh dari Cinta?
Syahdan,
seorang perempuan berlari tergesa-gesa dengan sekarung kenangan di
kepala. Ia lupa kalau gaun ungu yang dikenakannya terbuat dari beberapa
helai selendang yang kucuri di senja yang melukis wajah sepasang
kekasih. Kupikir, penjahit gaunnya tentulah bukan orang biasa—karena
Malaikat pernah bilang bahwa tidak sesiapa sanggup membuat jembatan
dari hatiku ke jantungnya untuk menyeberangkan pesan hanya dengan
mengulurbentangkan selendang itu
Tapi sayang, sebag
|