Sanca Colmar |
Minggu, 21 August 2011 16:25 |
Cerpen Tova Zen
KENANGANKU
membayang saat aku duduk di bangku dipan yang reot dan beradu denting
dengan keroncongan perutku ini. Lapar terus saja memilin lambung untuk
segera diasupi makanan. Nasi basi yang kemarin ibu hidangkan telah
kering menjadi rengginang, ampiyang, dan cengkaruk. Kurobek ingatanku
saat menginjak air mata ibu di subuh hari.
Kemarin
subuh aku digebuk sulur rotan. Ibuku menangis. Mataku menyalak merah.
Kuinjak-injak air mata ibuku. Itu kemarin, dan sekarang aku menyesal
dalam lapar.
"Ibu,
aku ingin mengusap derai air matamu," bisikku lirih sambil
meremas-remas dada kiriku. Rasanya jantungku sakit. Rasa sakit yang
terus saja meremas jantungku dalam debar kedurhakaan. Sakit kurasakan
karena aku telah menginjak air mata ibu. Bagaimana mungkin aku
menghapus air mata ibu? Saat tanganku mencoba menggapai runtuhnya ceruk
air mata dalam rinai tangis, justru sambaran rotan menampar pedas
tangan dan punggungku hingga merah lalu menghitam.
"Bu, sudah, Bu. Ampun Bu. Aku hanya memasak daging untuk lauk Ibu...."
"Daging apa yang kau masak, Jenitri? Kenapa ada buntut ular di pawon?"
"Ular sanca lurik kembang di depan rumah, Bu."
Mata ibu
tiba-tiba mendelik kejut. Nanar. Bergurat urat merah. Marah! Aku hanya
gemetar di sudut pandang ibu yang terpojok. Ibu lunglai dalam deru alam
bawah sadar. Pingsan.
Sekarang
aku masih mengenang kubangan memori masa kecilku. Kubangan pahit rasa
hidup miskin dan takhayul aneh tentang ular kesayangan ibuku itu. Lihat
saja tingkah ibu yang kian hari kian terajut nostalgia bersama ular
sanca yang bergelayut di dahan pohon beringin belakang gubuk rumah.
Bukan
aku tak sayang pada binatang. Bukan! Bukan pula aku jijik terhadap
hewan melata itu. Aku hanya pilu saat ibu bercerita bahwa ular itu
adalah ular dari Colmar, kota tempat ayahku dilahirkan.
Aku
benci cangkang daging yang menutupi tubuhku. Jelas sekali aku terlahir
dari percampuran ras yang berbeda. Rambutku merah madu, tidak sehitam
gerai rambut ibu. Mataku cokelat muda, tidak segelap iris mata ibu. Aku
terkucil. Aku tersudut. Kawan-kawanku mengejek bahwa aku anak penjajah.
Londo wedok.
Pernah
aku menangis menggerung-gerung di bawah pohon beringin tua itu. Macam
belati yang menusuk hati, saat aku diseret dalam sebuah interogasi.
"Hey!! Londo wedok! Pergilah sana dari buminya orang pribumi. Nista, aku melihat anak penjajah seperti kau."
Salah
apa aku? Kenapa aku harus pergi? Lantas aku harus pergi ke mana dalam
perang yang petang pun masih berkecamuk. Sebuah agresi militer brutal
telah meluluhlantahkan tanah Jawa. Begitu pula hatiku yang
diluluhlantahkan oleh prasangka. Barulah aku tahu, aku adalah titisan
serdadu sekutu yang pernah mengawini ibu.
Aku lari
ke pelosok terpencil dari kejaran orang-orang kampung. Hidupku kian
menyiksa. Lapar acap meremas lambung. Sekarung beras yang ibu bawa
dalam pelarian kami kini harus dimasak berkali-kali dengan sangat irit.
Aku hanya memakan beberapa suap nasi tanpa seonggok lauk pun. Tubuhku
jadi kurus kerontang hanya dalam hitungan bulan. Miris sekali, bahkan
nasi basi bisa menjadi santap untuk esok hari.
Ibuku
sakit. Ceruk matanya membiru lebam karena letihnya hidup di gubuk
belantara dalam pengasingan. Jelas ibu kurang gizi dan nutrisi. Kabur
dari pengasingan berarti masuk dalam perang. Agresi Militer Belanda,
aku kenang peristiwa itu dalam koyak derita hidupku. Tercerai dari kaum
yang bukan penjajah dan bukan pula titisan pribumi asli. Aku hidup
dalam tubuh berwadak percampuran ras. Tidak cokelat dan juga tidak
merah jambu dalam susunan kulit epidermisku. Siapa yang bisa mengerti
isi kelamnya hatiku?
Oh!
Ular. Bukan maksudku untuk berani memotong-motong tubuh panjangmu agar
ibu bisa berlaukkan daging saat makan. Sungguh lezat tubuhmu saat itu.
Rasa gurihmu lebih dari sekadar kaviar di atas omlet yang di suguhkan
bersama Chateau Mouton Rothschild.
Tak bisa
aku mengerti saat ibu sadari telah aku bakar ular sanca lurik kembang
menjadi lauk bersama nasi basi. Jangan salahkan aku yang telah membunuh
sanca itu. Aku hanya ingin ibu sehat. Selebihnya apa peduliku dengan
hewan melata itu.
Kuremas
kembali kenanganku sambil menyusuri jalanan pedestrian taman-taman khas
Prancis untuk kembali terbang dan hanyut bersama ibu saat aku bunuh
ular sanca itu. Musim panas di sini kadang tak bersahabat. Langit
begitu pucat. Rinai hujan yang turun menambah muram. Semuram rasa
hatiku yang mengenag ibu dan sanca lurik kembang itu. Di Kota Colmar
ini warna-warni langit kian tak terpudarkan.
Kutarik
napas dalam sambil menatap bangunan bersejarah Maison des Tates yang
dibangun awal abad ke-17. Gereja-gereja tua Kota Colmar juga menambah
syahdu rindunya kenangan terhadap ibu.
"Ular
itu adalah pemberian ayahmu, Nak. Dulu saat ibu bertemu dengan ayahmu
di hilir sungai, ayahmu menolong ibu dari belitan ular sanca. Ayahmu
tembakkan pelor yang melubangi kepala ular itu hingga terkapar mati.
Ayahmu lalu menangis di saat aku berterima kasih atas pertolongannya
dengan tutur bahasaku yang tak mungkin ia mengerti karena ia adalah
serdadu sekutu."
"Lalu
kenapa ayah menangis, Bu?" tanyaku ringan sambil mengusap rinai air
mata ibu yang bergelimangan di pipinya. Ibu mengecup pipi gembil merah
jambuku, sambil mengelus pundakku yang memar akibat sabetan sulur rotan.
"Ayahmu menyesal, Nak."
"Kenapa ayah mesti menyesal menolong ibu?"
"Ayahmu
menyesal telah membunuh ular sanca itu. Aku melihatnya gemetar saat
memegang senapan dan memuntahkan pelornya. Ayahmu memang sedadu sekutu,
Nak. Tapi ia bukan tentara yang bengis menembak musuh. Ayahmu hanya
seorang dokter kapal yang sedikit sekali kepahamannya tentang perang.
Apalah kiasan itu semua, toh ayahmu tetaplah dipersenjatai layaknya
serdadu."
"Kenapa
Ibu harus marah saat aku bakar ular itu untuk lauk Ibu yang sedang
sakit? Kenapa, Bu? Kenapa Ibu pukul aku dengan rotan."
Ibuku
tak menjawab. Ia hanya menangis sesenggukan sambil menutup wajahnya
dengan jemarinya. Aku ikut menangis sambil memeluk tubuh ibuku yang
kurus dan cekung. Tubuhku diapitnya, kepalaku menyeruduk di cekungan
dada ibu yang kering.
"Ular
yang kau bakar itu adalah ular yang ayahmu bawa dari Colmar. Ya, kota
di Eropa sana, Nak. Ibu tak tahu apa itu Eropa. Ibu tahu bahwa ayahmu
menyelamatkan anak ular dari induk sanca yang ia bunuh saat menolong
ibu. Ayahmu mengatakan pada ibu akan berangkat ke Colmar untuk melawan
Nazi di Strasbourg sambil membawa ular itu. Dalam kurun setahun ayahmu
kembali lagi menemui ibu, katanya Colmar dikuasi tentara Nazi. Kau
tahu, ibu sedang mengandungmu saat ayahmu kembali pada ibu. Tapi ayahmu
justru tewas saat bertempur melawan tentara sipit dari Nippon. Hanya
ular itu yang ibu rawat sebagai kenangan terhadap ayahmu."
Suara
ibu kian lemah. Akhirnya tenaga ibu habis dan ia terdiam kembali sambil
memelukku lemah. Ibu mencoba untuk berbicara tapi silir napasnya kian
berat kurasakan hembusannya. Ibu memeluk tubuhku dengan lemah, dan
matanya menutup untuk selama-lamanya.
Aduh
ibu! Kenapa ibu tinggalkan aku. Bagaimana aku harus menganyam rajutan
hidupku tanpamu. Aku hanya menangis menggerung-gerung sambil
menggoyangkan tubuh mati ibuku supaya kembali hidup. Apa yang bisa
kupahami dari rasa sedih yang mendalam ini? Air mataku terus membanjir
keluar. Penyesalanku yang telah membunuh ular sanca terus
mencabik-cabik rasa batinku. Kalau saja aku tak membunuh sanca itu
untuk lauk ibu, mungkin ibu tak mati karena shock. Perihnya
hatiku kini lebih perih melebihi sabetan rotan ibu. Aku benar-benar
dirundung kabung. Sementara perang di luar sana terus membumbung.
Aku
pergi dari belantara pengasingan dengan terseok-seok setelah mengubur
jasad ibu. Bunyi desing mortir masih terus membahana di udara. Aku
hanya butuh penyatuan. Aku hanya butuh belas kasih. Dan aku akan pergi
ke kota ayahku di lahirkan, Colmar.
Aku
memang gadis cilik yang terasing dari gilasan perseteruan dalam perang
antarmanusia, yang tak bisa aku pahami dalam otak masa kecilku. Aku
akan berlayar menuju Colmar bersama para warga Belanda. Memohon dengan
belas kasih untuk ikut bersama mereka yang juga terusir dari negeri
yang kini telah merdeka.
Hanya
pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal. Selebihnya tak.
Memang benar aku punya pola pikir yang mahal dalam segala hal, baik
gaya hidup maupun prinsip hidup. Akan tetapi tubuhku selalu kotor.
Namaku sekarang bukan Jenitri, tapi Sanca Colmar yang menggeliat-geliat di sudut kota sambil menikmati Bellini.
Lihatlah
ibu, dulu kau adalah seorang istri simpanan yang selalu mengenang
suamimu. Ayahku. Sekarang aku istri dunia malam yang menembangkan
nyanyian kasih di dalam klub malam. Menggeliat bagai sanca dalam
mengais anyaman hidup, sendiri tanpamu.
Aku akan
menikah. Pasti. Tentu saja dengan pria penyuka ular sebagai tanda sesal
jejak silamku saat membunuh sanca itu. Sekarang biarlah aku menggeliat
sebagai Sanca Colmar. Aku rindu ibu. Tahukah ibu, kota ini menghasilkan
banyak selai buah, keju serta anggur. Seandainya ibu hidup bersamaku,
ibu akan menyecap makanan itu di kota kelahiran ayah ini. Ibu yang
tenang di sana, jangan tanya pekerjaanku di sini. Jika ibu tahu, ibu
pasti akan menangis dalam rinai hujan dan menggebukku dengan sabetan
kilat petir.
Catatan:
Colmar: Kota kecil di Prancis sebagai penghasil anggur yang terletak 20 km dari perbatan Jerman-Prancis.
Rengginang,
ampiyang, dan cengkaruk: Makanan dari nasi yang telah di keringkan
kemudian digoreng, rasanya cukup renyah dari bulir-bulir nasi.
Pawon: Tungku tempat memasak dari bata/batu yang berbahan api dari kayu bakar.
Londo Wedok: Sempalan istilah orang pribumi Jawa yang menyebut perempuan keturunan Belanda/Eropa.
Strasborg: Kota di Jerman yang pernah dilalui tentara Nazi dalam menguasai Prancis dengan menuduki kota Colmar
Kaviar:
Nama aslinya Khavyar berasal dari bahasa Turki, dan muncul pertama kali
di Inggris tahun 1591. Disebut juga caviar, setelah orang Persia
menyebutnya khag-avar yang berarti penghasil telur. Jadi, Kaviar punya
artian sebagai makanan dari telur-telur ikan yang di hasilkan dari
berbagai jenis ikan. Ikan penghasil telur ini disebut Sturgeon.
Chateau
Mouthon Rothschild: Sejenis Wine yang dihasilkan dari tempat bernama
sama yang terletak 50 km barat laut Bordeaux, Perancis.
Nippon: Bala tentara Jepang di masa Perang Dunia II
Hanya pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal: Kutipan Stendhal, penulis Perancis (1783-1842).
Bellini: Racikan minuman Absolute Orange, Peach Liquer dan sparkling wine.
|