Syukur Kembali Fitri |
Minggu, 28 August 2011 00:00 |
Cerpen Tarpin A. Nasri SYUKUR bukan baru kemarin memeluk Islam dan bukan baru kemarin pula menjalankan ibadah puasa. Akan tetapi, untuk puasa tahun ini, tampaknya Syukur benar-benar ingin puasanya diterima Allah swt. Syukur menginginkan puasanya tak hanya dapat lapar dan dahaga. Tentulah sia-sia puasa yang dikerjakan sejak terbit fajar sampai matahari tenggelam kalau hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
"Seminggu
menjelang datangnya bulan suci Ramadan, saya sudah siap-siap
menyongsongnya dengan riang gembira, tulus, dan ikhlas. Fisik dan
mental pun sudah saya siapkan untuk menjalani serangkaian ibadah lain
di bulan suci Ramadan ini, Pak Ustaz," ujarnya kepadaku.
Aku
tersenyum menyambut semangat Syukur, yang selama ini orang mengenalnya
sebagai bocah brengsek, anak rusak, jagoan kampung, preman desa, anak
prapatan, dan ahli molimo—mabok, maling, madon. Karena Syukur mulai insaf, kampung kami jadi aman dan tenteram.
Aku juga
sudah tak mendengar lagi kabar tentang kelompok Syukur yang
mabuk-mabukan di poskamling, tak terdengar lagi ada pencurian, tak
terlihat lagi ada orang dipalak dan tak tersiar lagi anak perawan atau
janda bunting tanpa ketahuan siapa pejantannya. Pesta hajatan dengan
dangdut dan organ juga sepi dari ajang mabuk-mabukan dan perkelahian
dengan senjata tajam atau pecahan botol. Insafnya Syukur disambut
syukur, gembira, dan terima kasih.
"Supaya
puasa Mas Syukur diterima oleh Allah, tolong jauhi segala larangan
Allah agar hal-hal yang membatalkan pahala puasa bisa dihindari,"
kataku.
"Iya, Pak Ustaz," jawabnya. "Tapi puasa yang membuahkan amal yang bisa diterima langsung oleh Allah itu berat ya, Pak Ustaz?"
"Beratnya di mana?" sambutku kalem. "Kan Mas Syukur sudah menyiapkan diri secara fisik dan mental sebelum puasa itu datang?"
"Kalau sekadar menahan makan dan minum masih bisa saya kerjakan, Pak Ustaz. Tapi..." ujarnya tak lanjut.
"Tapi apa, Mas Syukur?"
Syukur
hanya tersenyum. Maka aku angkat bicara, "Setelah melaksanakan ibadah
wajib, seperti sholat, atau bila tidak ada yang harus dikerjakan lagi,
demi untuk menjaga lisan atau ucapan, juga menjaga telinga dan menjaga
mata, sebaiknya Mas Syukur tidur saja, atau membaca Alquran."
Syukur
mengangguk setuju dan aku menambahkan lagi, "Bila malam, daripada
begadang di pos ronda, main gitaran, menggoda janda, dan mengencani
wanita bersuami yang ditinggal merantau, lebih baik tadarus di musala
atau berserah diri mohon ampunan Tuhan," kataku.
"Anu lo, Pak Ustaz. Saya kan belum bisa ngaji, Pak Ustaz?" katanya malu-malu.
"Mendengarkan
orang mengaji sambil terus belajar, pahalanya sama dengan yang mengaji,
sama dengan yang tadarus, sama dengan yang baca Alquran," ujarku.
Aku masih dengan sabar mendengarkan apa yang mau diomongkan Syukur.
"Satu lagi Pak Ustaz," pintanya.
"Apa?" jawabku.
"Kalau melihat wanita cantik, manis, seksi dan montok bisa membatalkan puasa ya, Pak Ustaz?"
"Tuhan
memberi karunia mata kepada kita untuk melihat. Wanita yang seperti itu
boleh dilihat bila tak sengaja. Yang tak boleh itu, setelah dilihat dimasukin
ke hati untuk kemudian... maaf, dibayangkan bagaimana enaknya bila
dinikmati. Itu yang tak boleh dan bisa membatalkan pahala puasa."
***
SEJAK itu, Syukur memang banyak berubah. Setiap datang waktu salat lima waktu aku sering ketemu di musala, dan waktu salat Jumat juga aku sering jumpa. Pas buka puasa bersama di masjid kampung, Syukur ada di sana.
Untuk
tidak kembali ke masa lalunya, aku ada pemikiran untuk mengajak Syukur
bekerja. Sejak kuselamatkan dari kemungkinan dihakimi dan dibakar massa
ketika Syukur tertangkap tangan mencuri motor di kampung tetanggaku,
Syukur memang berubah dan nurut kepadaku.
"Ini maaf lo, Mas Syukur," kataku hati-hati sekali. "Orang hidup itu tak melulu salat atau puasa lo."
"Maksudnya?" sambutnya.
"Mas
Syukur kan masih muda, pasti mau nikah, pasti ingin punya baju dan
sepatu baru, pasti ingin punya motor dan suatu saat Mas Syukur juga
harus pisah dari orang tua kan?" ujarku.
"Semua itu benar Pak Ustaz," sambutnya.
"Jadi Mas Syukur mulai sekarang harus mulai berpikir untuk bekerja," tegasku.
"Kerja apa ya, Pak Ustaz? Saya cuma lulusan SMP," jawabnya dengan muka bingung.
Aku tersenyum. "Kalau kerja di toko material dan bangunan milik saya bagaimana?"
"Saya ini bekas orang enggak beres lo, Pas Ustaz? Apa Pak Ustaz percaya sama saya?"
"Mas Syukur menjadi orang tak beres kan dulu," jawabku. "Sekarang Mas Syukur sudah jadi orang beres kok. Percayalah."
"Tapi
cap itu enggak mudah terhapus begitu saja lo, Pak Ustaz. Masyarakat
belum percaya dan diam-diam masih menghukum saya dengan
kecurigaan-kecurigaan mereka."
"Inilah
kesempatan yang baik buat Mas Syukur untuk membuktikan diri bahwa Mas
Syukur itu bisa dipercaya, tak perlu dicurigai, tak perlu dihukum
diam-diam, dan yang terpenting, Mas Syukur juga bisa jadi orang baik."
Syukur
diam sejenak. Ada cairan bening yang mengembang di kelopak matanya,
yang kemudian berubah jadi butiran yang menggelinding membuat anak
sungai di pipinya.
"Kok Pak
Ustaz tak menghukum saya seperti mereka? Kok Pak Ustaz tak menghakimi
saya? Kok Pak Ustaz enggak melecehkan saya? Kok Pak Ustaz tak menghina
saya? Kok Pak Ustaz mempercayai saya? Kok Pak Ustaz enggak menjauhi
saya? Kok Pak Ustaz tak alergi dengan saya?"
Aku tak mau menjawab pertanyaannya. Aku malah menghadiahi Syukur senyuman.
"Besok sudah bisa kerja kan, Mas Syukur?"
***
SYUKUR
ternyata rajin bekerja, jujur, dan ramah melayani pembeli. Lambat laun
banyak juga orang yang mulai percaya dan suka dengan pelayanannya.
Syukur orangnya ringan tangan, sehingga sering dapat uang persenan dari
pengembalian belanjaan.
Dua
minggu setelah Syukur kerja, aku menyerahkan pengelolaan toko material
dan bangunan itu kepadanya tanpa sedikit pun takut uangku sebagaian di-tilep
atau dibawa lari olehnya. Benar saja, sebulan kemudian aku diserahi
setumpuk uang pecahan ribuan, dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan,
dan dua puluh ribuan, jumlahnya berapa aku tak menghitungnya.
"Ini uang apa, Mas Syukur?" tanyaku.
"Dikasih pembeli, Pak Ustaz."
"Kok dikasihkan ke saya? Maksudnya apa ya?"
"Saya bingung uang itu milik saya atau milik toko Pak Ustaz? Saya kan sekarang kerja dengan Pak Ustaz?"
Benar
kan? Aku yakin Syukur jujur dan bisa dipercaya. Akan tetapi, setelah
setengah tahun Syukur kerja dan dan anak sulungku, Herlina Kusuma
Wardhani, kelihatan mulai dekat dan tertarik dengan Syukur, Syukur jadi
sering gelisah. Bahkan, ketika Herlina semakin terang-terangan
menunjukkan minatnya, Syukur langsung minta berhenti bekerja. Karuan
aku kaget.
"Kenapa
minta berhenti? Apa Mas Syukur sudah dapat pekerjaan yang lebih baik
dengan upah yang lebih bagus? Kalau itu alasannya, saya setuju Mas
Syukur berhenti kerja di tempat saya. Bagaimana?"
"Saya
enggak ada pilihan pekerjaan lain, Pak Ustaz," jawabnya. "Tapi ini
semua karena saya menghormati Pak Ustaz dan keluarga. Saya enggak mau
kurang ajar, dan tak mau disebut orang yang tak tahu diri, apalagi tak
mengerti balas budi. Pak Ustazlah yang menyelamatkan saya dan telah
meng-uwongke saya seperti ini."
"Maksudmu apa, Mas Syukur?" tanyaku.
Syukur diam sejenak. "Ini ada kaitannya dengan putri Pak Ustaz, Herlina," ujarnya dengan berat hati-hati.
"Kenapa dengan putri saya itu, Mas Syukur?" tanyaku pura-pura tak tahu.
Syukur
tak menjawab, tetapi Syukur memberikan amplop kepadaku yang diambil
dari saku bajunya. "Saya tak mau membalas air susu yang Pak Ustaz
berikan ke saya dengan air tuba. Saya sadar dan tahu diri, saya ini
bekas ahli mabuk, ahli maling, ahli madon, preman, dan sampah
masyarakat. Saya enggak mau menaburkan aib ke muka Pak Ustaz dan
keluarga. Herlina terlalu suci untuk saya dan saya menghormati Pak
Ustaz."
***
SEJAK
itu Syukur berhenti bekerja dan kudengar berhasil membeli beberapa
puluh ekor kambing dari hasilnya bekerja denganku. Bahkan, kudengar dia
juga berternak ikan lele, dibantu teman-teman yang dulu jadi
komplotannya.
Ketika
aku butuh kambing untuk kurban, aku menemuinya sekalian untuk Herlina
yang begitu kuat mencintai Syukur. Ditinggal Syukur, Herlina sampai
mogok makan dan mogok bicara.
Aku
membeli dua ekor kambing dan dipilihkannya yang paling gemuk dan paling
sehat, hanya ketika bicara harga Syukur kebingungan bukan main. "Ini
kambing terbaik dan tersehat yang saya punya, Pak Ustaz. Dulu waktu
saya beli kambing ini sakit-sakitan, kudisan, dan kurus dengan harga
beli Rp250 ribu. Jadi, sekarang terserah Pak Ustaz mau ngasih keuntungan saya berapa? Berapa pun keuntungan untungannya saya ikhlas menerimanya, Pak Ustaz."
Aku juga
sudah tahu harga kambing yang pantas dan sewajarnya itu berapa, akan
tetapi urusan yang terpenting sejatinya adalah yang menyangkut Herlina.
"Mas Syukur mbok sekali-kali buka puasa di rumah? Herlina memasakkan pepes ikan mas kesukaanmu lho."
Syukur diam. Wajahnya penuh warna. Ada rona bingung dan tak percaya. Akan tetapi kulihat ada sekelebat bahagia.
"Kasihan
Herlina yang sudah payah-payah belanja dan sudah masak susah-susah
untukmu," godaku seraya melanjutkan. "Kalau Mas Syukur tak ke rumah,
nanti dia kecewa berat lo."
"Janganlah
karena nila setitik dari saya, maka rusaklah susu sebelanga Pak Ustaz
dan keluarga," ujar Syukur. "Dalam hal ini nama baik dan kehormatan Pak
Ustaz sangat saya jaga," lanjutnya.
"Bila Mas Syukur tidak rindu kembali ke masa lalu, kupikir tak ada masalah," jawabku enteng saja.
"Kalau soal itu sih saya sedang menuju tobat yang setobat-tobatnya, Pak Ustaz," tegasnya.
"Kalau begitu tak ada masalah dong, Mas Syukur?" tantangku.
Syukur
tak menjawab. Kubiarkan Syukur berpikir. Akhirnya Syukur mengajukan
pertanyaan, "Boleh saya mengajukan satu pertanyaan, Pak Ustaz?"
Aku mengangguk tulus disertai senyum yang tulus, arif, dan teduh.
"Apa Pak
Ustaz tidak malu, tidak merasa turun derajat dan tidak merasa kotor
kehormatan dengan mengambil mantan pemabuk, bekas pemaling, dan mantan
pe-madon, bekas preman, mantan orang enggak genah, bekas orang
rusak, dan bekas sampah masyarakat untuk Herlina yang suci, beriman,
bertakwa, dan solehah?" tanyanya.
"Herlina
akan membantu menuntunmu menuju jalan yang diridai Allah, dan akan
mengingatkanmu untuk tidak tergiur menapaki jalan yang dilarang Allah,"
ujarku.
Jika aku
terharu dengan apa yang dikerjakan Syukur, itu bukan karena Syukur
mencium tanganku dengan simbahan air mata haru dan bahagia, tetapi
karena Syukur benar-benar telah kembali ke jalan yang benar.
DAN pada
ramadan tahun ini aku telah berkenan menghadiahkan kado istimewa untuk
Syukur, karena Syukur telah kembali kepada kefitrian dengan taubatan
nasuha, yakni tobat yang sebenar-benarnya tobat. Untuk semua itu, aku
kira Herlina pantas sekali untuk mendampingi Syukur.
Keyakinanku
tak meleset secuil pun, Herlina hidupnya tenang, nyaman, damai,
bahagia, dan sejahtera di tangan seorang imam dan kepala rumah tangga
yang bertanggungjawab siang-malam, lahir-batin, dan dunia-akhirat, yang
kemudian kutambahi namanya menjadi Muhammad Syukur Abdullah.
Lampung Timur, Agustus 2011
|