Sajak-sajak Arya Winanda |
Minggu, 28 August 2011 00:00 |
Lima Cincin Kawin
semenjak terabai sekerat daging
mungkin berlaku sebagian bagi berjenis-jenis manusia tidak muskil itu anda namun bukan untuk binatang apatah lagi tumbuhan mustahil kepada serangga untuk saya
(semoga) kolam cahaya senantiasa sudi setia meski kini suka sembunyi di balik punggungnya 2008 Keindahan di Ruang Tamu kucing hitam kencing di kaki kursi berkilat matanya membangkitkan bulu ketika aku yang abu-abu menggonggong menggetarkan kerongkong sejak perselisihan purba perseteruan merupa hijau padang yang subur di garis paling tepi di wilayah perburuan sesekali layar sunyi dibentangkan saat bunga lalang putih berayun mekar gemetar dan pelan berhamburan adalah lengking lambung terompet paling genting tergesa menghela pertempuran sebagai tamu bertangkai—berbiji kami saling mengerti bau teranyir paling memenuhi udara di ruang ini sebab itu kami rajin mencipta pagar atau palang: tanda penghalang agar kebencian sedikit mundur dan menumpul meski jeruji semakin runcing sebelum di barat matahari mengapung dan cahaya lain mengepung menghanyutkan tujuh ratus wajah kami seperti sampan-sampan kecil nelayan yang nampak terbang di bawah gelombang sebab tiada pula permukaan 2008 Sang Majnun sebab angan ia tiba di sebuah stepa tanpa letih ia menyuburkan dirinya dengan belukar sukar tempat srigala dan anjing hutan enggan menyantapnya sebab ia terlampau liar karena duri cahaya yang meluapi dadanya terlampau tinggi bagi mata dan lengannya ia lupa telah membuka lubang dirinya bagi sulur-sulur angin sebab itu sebenarnya mata memandang tangan menjangkau kaki menapak tak ke manapun bukan ke apa pun dicaci hujan dibedaki debu nyanyinya begitu merdu hingga orang-orang memuja: martir asmara yang gagah menempuh samsara tubuhnya disucikan didaulatkan kepadanya majnun sebagai nama matanya teduh dan berair namun membuat gatal umpama lengkung-lepuh cacar air yang tubuhnya pernah hapal di mana sang bapa telah memuaskan angin menelusuri lubang-lubangnya sebagai sulung ia tak lebih suling belaka dititipi lagu kencang melengking oleh angkasa kepada dirinya agar tiada seorangpun gegabah mendaku sebagai pencinta sebab jiwa amat terik tiada sanggup memberi terlalu haus meminta-minta 2009 ---------- Arya Winanda, lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Ia berhimpun di Komunitas Berkat Yakin dan menetap di Bandar Lampung. Buku puisinya Desis Ular (2011). |