Sajak-sajak Tia Setiadi |
Sabtu, 03 September 2011 22:09 |
Ode untuk Daun-Daun : Jingga Gemilang /1/ daun-daun yang jatuh adalah surat-surat yang mesti kau baca. hijau atau jambon warnanya adalah warna lembaran hatimu sendiri yang terbaring menunggu, menunggu di luar kata-kata dan ranum kulitmu daun-daun daun-daun daun-daun yang jatuh— perlahan dan tabah— seperti sehelai sapu tangan jingga yang jatuh dari pohon awan sesaat selepas kauseka kesepianku. /2/ daun-daun yang jatuh adalah kerinduan yang mesti kau terjemahkan. musim demi musim dalam celupan cahaya dan air daun-daun itu mematangkan diri menunggu, menunggu sentuhanmu. bacalah gurat-gurat wajahnya agar kau kenali gurat-gurat wajahmu sendiri daun-daun daun-daun daun-daun yang jatuh adalah lidah-lidah malaikat yang bernyanyi dan lidah-lidah sungai dan burung-burung pingai yang bernyanyi daun-daun daun-daun pungut dan himpun daun-daun yang jatuh itu lalu kau hamburkan kembali ke mangkuk bumiku yang subur rindu: lembaran-lembaran musim— bak riak-riak karpet parsi— yang hijau pupus, amin. Bilqis dan Sulaiman Duhai bumi, telanlah airmu. Dan duhai langit, berhentilah... (QS Hud [11]: 44) "Duhai bumi, telanlah airmu," ujar Bilqis, sembari berjinjit di lantai Istana Ursyalim. Ia menyangka lantai itu terbikin dari air maka ia tarik sedikit ujung gaunnya dan tersingkaplah dua betis gadingnya dengan helaian-helaian bulu lunak yang meriap berkilauan kena sinar damar Saat Sulaiman berucap bahwa lantai itu tersusun dari kaca dan bukan dari air Bilqis seketika terperanjat dan tersipu hati dan pipinya berubah jadi lembayung bak dicelup oleh Sang Pencelup Agung sepasang matanya runduk dalam takjub bagaikan dua butir embun di taman yang kuyup "Kedua mataku ternyata menipu, duhai Sulaiman, kukira bentangan air padahal cermin yang licin, maka kini biarlah aku buta di hadapanmu, dan biarlah biru langit berakhir bagiku" Kemudian Sulaiman mengecup mata Bilqis. "Wahai Bilqis, bukan hanya engkau yang buta, kini aku pun buta, karna meski aku mengerti bahasa berbagai binatang dan makhluk-makhluk gaib namun ternyata aku tak mampu memahami huruf-huruf rahasia yang tersembunyi di helaian-helaian halus bulu betismu," Dan Bilqis pun mengecup mata Sulaiman. "Bila demikian, biarkan matamu jadi mataku, dan mataku jadi matamu, Junjunanku, hanya dengan begitu kebesaranmu akan tersingkap bagiku, dan rahasiaku akan tersingkap bagimu" Malam kian dalam, damar pun berpadaman sebab kini minyak dan sumbunya telah bersatu Tetapi kedua sejoli itu masih saja terjaga di tempatnya semula, seperti dua air terjun yang mematung, saling mengurai rahasia dan meneroka lanskap diri masing-masing keduanya jadi guru dan murid satu sama lain Cinta Bilqis dan Sulaiman semakin membesar dan sengit setiap detiknya, sementara bumi kian menyempit, dan kemudian menjelma jadi sehampar kolam kecil yang menyucikan dan menyatukan guguran gairah keduanya dengan luruhan cahaya purnama dari angkasa yang semakin anggun dan keramat setiap detiknya. Wijayakusuma tanpa tahu saat ia lewat tilasnya masih terambung— di banjir wangi wijayakusuma. ---------- Tia Setiadi, menulis esai dan sajak pada pelbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur budaya pada majalah Gong (2008). Kini bekerja sebagai chief editor penerbit Interlude dan peneliti ahli pada Parikesit Institute. Sedang menyiapkan antologi puisi tunggal: Husrev dan Shirin. |