Cerpen Yetti A.KA.
LampungPost, Sabtu, 09 July 2011 20:49
Nanci
LampungPost, Sabtu, 09 July 2011 20:49
Nanci
Teman
kita itu benar-benar perempuan menyedihkan. Ia seorang pembual.
Bergaduk pembangkang. Merasa paling keras kepala. Sombong sekali dia.
Padahal, ibarat roti yang terlalu lama dibakar, ia repas. Jika sudah
begitu, tak ada lagi yang bisa ia harapkan, selain menyerah dan terus
membiarkan laki-laki itu menguasai dirinya.
Soal
satu ini, kuminta jangan bilang-bilang padanya. Ini sebetulnya rahasia
kami. Ia sengaja tidak memberitahumu, sebab kau berbeda, katanya.
Paling-paling kau akan bilang: kalau suami sampai memukulmu, pasti
karena kau telah membuat kesalahan. Sebaliknya aku justru sulit
mengeluarkan kalimat semacam itu dan lebih terbiasa berkata: kau harus
membalasnya, beberapa tingkat lebih keras, buat dia sedikit tercengang.
Ternyata
teman kita itu lebih menyukai pendapatku. Aku memberinya inspirasi,
menurutnya. Meskipun aku tahu ia tidak akan melakukan apa-apa pada
suaminya—sekecil apa pun itu. Bukankah teman kita itu amat mudah
tergoda. Dengan rayuan: maafkan aku, aku menyesal, aku tidak bisa hidup
tanpamu—dari suaminya—ia langsung cair seperti es. Tangan-tangannya
yang semula terkepal, lemas seketika, dan saat itulah ia terlihat mudah
dikuasai.
Sekarang
kau mengerti kenapa aku bosan sekali padanya, ia tipikal perempuan yang
mudah meleleh. Aku masih ingat, dulu dia begitu cantik di antara kita.
Semua teman laki-laki kita menginginkannya, menganggap kita tidak
penting di setiap acara yang kita hadiri, baik itu yang diadakan pihak
sekolah maupun di beberapa pesta ulang tahun. Sangat mengesalkan ketika
itu. Apalagi saat melihatnya demikian genit dan tahu betul cara
memanfaatkan puncak kegemilangannya.
Dalam
sebulan, teman kita itu bisa ganti pacar dua sampai tiga kali,
sedangkan aku dalam setahun ditolak dua kali atau kalau ada seseorang
memintaku jadi pacar—dan ini pasti dari kelompok anak lelaki kurang
populer—tetap saja aku merasa kurang dicintai. Apa? Kau tidak peduli
tentang itu? Kami semua tahu kau memang kurang berminat dengan dunia
begituan. Kau lebih senang merajut tas tangan ketika jam istirahat,
membuat dirimu tampak terkucil dan berdebu di tengah hamparan
bangku-bangku kosong yang ditinggalkan rombongan siswa keluar main.
Ya, kau
memang manis sekali sejak dulu. Siapa pun lelaki itu pasti menyukai
perempuan sejenismu. Setelah menikah, kau tetap berkarier dan mengurus
rumah tangga sekaligus, tanpa keluh kesah. Aku kadang penasaran, di
mana kau dapatkan semangat sebesar itu. Atau kesabaran sedalam itu.
Sering aku menganggapmu kebanyakan mendengar dongeng masa lalu dari
ibumu, tentang perempuan yang hanya bahagia bila berhasil menguasai
sebuah rumah, terutama bagian dapur.
Kau
tidak sendirian dan justru kau berada dalam kelompok besar perempuan
yang seperti itu, karenanya kau merasa berada di jalan yang tepat? Kau
benar juga. Hanya saja jarang sekali yang tanpa keluh kesah, bukan?
Teman kita itu? Wah, kalau dia jangan kau tanyakan. Aku yakin bibirnya
berkerut-kerut saat mengiris bawang. Dia kurang menjiwai apa saja yang
berhubungan dengan dapur. Kau berpendapat bahwa teman kita itu tipe
perempuan modern, banyak mau, tetapi tidak tahu apa-apa yang
benar-benar ia inginkan? Kalimatmu hebat sekali. Kau pasti mengutip
kalimat itu dari sebuah buku.
Terakhir
menelepon, teman kita itu terdengar kesal karena suaminya tidak mau
ikut mengurus anak-anak mereka yang masih kecil, terutama di pagi hari
yang sibuk, ketika teman kita mesti menyiapkan sarapan, membersihkan
lantai, menyetrika, dan mengganti air dalam bak mandi, anak-anak lucu
itu tidak henti meminta perhatian darinya dengan membuat kegaduhan luar
biasa.
Tahukah
kau lelaki itu sedang apa? Ia minum kopi di ruang depan seakan tidak
ada keributan sama sekali. Apa? Urusan rumah dan anak adalah mutlak
pekerjaan perempuan? Kau memang payah untuk pembicaraan yang satu ini.
Payah sekali.
Biar
kuberitahu, ternyata satu-satunya peran yang paling pantas kau mainkan:
tetaplah jadi anak manis sampai kau berusia lima puluh tahun. Aku
menyindirmu dan seolah-olah mau mengatakan kalau kau kurang cocok
melakukan perubahan kecil kecuali tetap menjadi seseorang yang polos?
Kali ini kau hampir benar. Kira-kira begitulah yang ingin kukatakan.
Aku tetap berharap kau akan tersinggung. Kau masih bertanya untuk apa
kau tersinggung? Astaga, kau kelewat tak terjangkau oleh apa pun. Aku
menyesal tidak bisa menolongmu.
Marine
Hah? Ia
membeberkan rahasiaku kepadamu? Brengsek sekali dia. Ingin kugampar
wajahnya yang berminyak itu. Aku terkicu telah percaya padanya.
Harusnya aku ingat dirimu—seseorang yang kapan saja siap menjadi gudang
bagiku. Aku merasa ini kesalahan terbesarku untuk kedua kali. Ternyata
dia tidak berubah setelah membuka rahasia-rahasiaku sebelum ini pada
orang lain—sialnya, mereka itu bahkan bukan temanku, melainkan kenalan
suamiku—dan sudah pasti terjadi keributan serius antara kami yang
membuatku cukup repot untuk memulihkan situasi.
Kenapa
aku menerimanya lagi sebagai teman kalau ternyata dia sering
merepotkanku? Tolonglah, kau tetap saja tidak paham bahwa kehilangan
dia sama saja dengan menutup sisi lain hidupku. Dia memberiku tempat
untuk membayangkan diriku yang seorang pembangkang. Pendek kata, kalau
ada dia, aku bahkan bisa meraih kembali diriku yang dulu itu. Apa
pentingnya diriku yang dulu? Kau sulit memahaminya, sebaiknya kau
simpan saja pertanyaan itu. Aku menyepelekanmu seperti yang sering
dilakukan teman kita itu? Kuharap kau tidak berkecil hati, namun itulah
yang kupikirkan tentangmu.
Walau
begitu, aku iri padamu. Kau mendapatkan semua yang kauangankan. Kau
punya rumah sesuai dengan yang kau gambar di dinding WC sekolah kita:
rumah cukup besar dan pohon-pohon di sekitarnya. Kau punya suami baik
hati dan anak-anak yang menyayangimu—balasan yang wajar atas
ketulusanmu. Paling penting kau tidak pernah merasakan nyeri dipukul
atau ditampar lelaki yang kaucintai, pastinya karena ia tidak mungkin
tega melakukannya pada orang semanis kamu. Aku? Bahkan aku dipukul saat
suamiku bilang “Aku cinta padamu”. Itu membingungkan? Sudahlah. Aku
tahu kau sulit percaya atau malah menganggapku bohong.
Lantas
lihatlah teman kita itu, seolah tidak ada pekerjaan lain kecuali
mencari kesalahan laki-laki. Hampir setiap hari ia juga menyerang
perempuan manis sepertimu atau melakukan protes di jalanan di saat
perempuan seusianya tengah memikirkan rencana piknik keluarga di hari
Minggu. Aku heran, apa yang dia inginkan dari hidup ini. Padahal, apa
salahnya kalau perempuan seperti kau tetap manis. Kami semua—kecuali
dia, barangkali—sangat menyukai dirimu yang begini.
Kau
tidak percaya aku membelamu? Bagaimana bisa kau punya pikiran demikian?
Bukankah saat kau dilecehkan sewaktu kita sekolah dulu aku orang
pertama yang berdiri di sampingmu, menggenggam tanganmu, dan berkata:
aku bersamamu. Jangan pernah cengeng lagi. Setelah itu kau memang tidak
pernah lagi menangis, bukan? Aku memang teman yang bisa kau andalkan,
terutama yang berurusan dengan laki-laki usil. Aku bisa membuat mereka
terkapar di bawah kakiku, dalam lima menit. Apa? Kau bilang lelaki mana
yang tidak mau terkapar kalau bisa mengintip sesuatu dalam rokku? Kau
mulai ketularan teman kita itu rupanya. Tapi kuharap kau tak sesinis
dia.
Sudahlah. Lupakan masalah itu. Lagipula kejadiannya sudah lama sekali.
Ah, aku
merasa dadaku sedikit ringan sekarang. Apa? Aku mudah meleleh? Kau
mengejutkanku. Boleh juga. Meleleh. Sungguh, aku menemukan satu kata
yang pas untuk menggambarkan seluruh diriku: meleleh. Jangan tatap aku
begitu. Ah, maaf. Aku sedang sentimentil. Biasanya aku tidak begini.
Jarang sekali. Dan inilah aku sekarang. Teman kita itu ada benarnya,
aku mulai membiarkan diriku berantakan. Bagian ini tidak pernah
kuceritakan pada siapa pun sebelumnya, termasuk pada teman kita itu.
Aku tidak mau dia merisaukanku. Bagaimanapun dia teman terbaikku. Oh,
aku tidak bermaksud menganggapmu tidak penting. Namun, pada dia aku
merasa lebih bisa terang-terangan, sedangkan kau, sungguh, tampangmu
yang selalu manis itu membuat siapa pun harus pura-pura sepadan dengan
kegembiraan yang terpancar di matamu.
Aku
tidak habis pikir kenapa kau selalu bisa begini, selalu manis, persis
sama saat melihat kau main lompat tali, puluhan tahun lalu, tepatnya
saat kau melompat dan kau tengah berada di udara. Mengambang. Bagimu
seakan hidup itu amat ringan. Maksudmu tidak sepenuhnya demikian? Kau
cuma berusaha untuk menahan diri, tidak histeris? Kau menyindirku. Soal
histeris itu memang milikku. Aku tidak dapat mengungkapkan apa-apa
tanpa marah atau berteriak. Tapi pada akhirnya aku tetap saja meleleh,
sesuai yang kau katakan. Apa? Itu bukan istilahmu, melainkan kata yang
kau kutip dari teman kita itu?
Sudah
kuduga ia pasti terlibat dalam hal apa pun yang ada hubungannya
denganku. Lihat, ia bahkan sudah menyimpulkan hidupku dalam satu kata:
meleleh. Berani benar dia. Aku tidak tahu apa aku harus benar-benar
menggamparnya dalam waktu dekat ini.
Kau
masih juga ingin tahu pendapatku tentang teman kita yang tidak menikah
dalam usia tiga puluh lima tahun? Barangkali lebih baik dia tidak
menikah. Aku tahu ia tidak akan berhasil menjadi seorang istri dari
seorang lelaki dari jenis mana saja, sebab teman kita itu bahkan
menolak mencuci satu piring pun bila ia menikah nanti. Itu ia katakan
padaku dengan suara keras, seolah-olah sebuah pengumuman yang
disengaja. Menurutmu, apa ada seorang laki-laki mau hidup dengan
perempuan yang membiarkan piring kotor tergeletak di lantai? Ayolah,
kau tidak perlu bergidik begitu, seakan-akan kau baru berkenalan dengan
teman kita itu satu bulan lalu.
Luppit
Kau
benar-benar sebal padaku? Tolong jangan lakukan itu. Aku merasa
bersalah sekali padamu. Aku tidak bermaksud melakukan pertemuan
diam-diam di belakangmu. Semua terjadi begitu saja. Teman kita itu
meneleponku. Lalu mengajakku minum teh di tempat biasa kita bertemu.
Kami tidak memberitahumu karena kami pikir kau sedang sibuk sekali.
Teman kita bilang beberapa kali kau tidak membalas pesan pendek dia.
Kau sedang bosan padanya? Tapi ia mengira kau terlalu sibuk. Kami
putuskan pergi berdua saja.
Kuakui
aku terbawa emosi ketika diam-diam kuperhatikan beberapa titik kebiruan
di sekitar mata dan bibirnya. Aku berseru: astaga! Jadi benar kalau kau
dipukuli lelaki itu. Teman kita itu kaget. Masih kuingat bola matanya
memandangku takjub, seakan tidak percaya aku tahu sesuatu tentangnya.
Ia mendesakku. Kukatakan aku tahu darimu. Dia menjerit.
Menurutnya,
itu rahasia kalian dan aku semestinya tidak boleh tahu. Setelah itu ia
berkata ingin sekali menggamparmu, tentu saja dengan tampang geram
setengah mati. Tapi seperti katamu, aku tahu ia tidak akan melakukan
apa-apa—sekecil apa pun itu. Bukankah dia mudah sekali meleleh. Apalagi
ia tidak bisa kehilanganmu.
Aku lega
kau mau mengerti. Lain kali aku akan lebih hati-hati menyimpan sebuah
rahasia. Terutama mengenai teman kita itu. Kau bertanya tentang
kabarku? Tentu saja aku masih bahagia sebagaimana biasa. Hanya sedikit
lelah, tapi tak begitu mengganggu. Pagi-pagi aku bangun untuk
membereskan segala hal. Sehabis kerja aku juga buru-buru pulang untuk
kembali melakukan hal yang sama. Itulah tugasku. Baiklah kuberitahu
padamu isi kepala hampir semua laki-laki saat ia menikahi seorang
perempuan. Pertama, ia memastikan ada seseorang yang akan mengantar teh
atau kopi ke tempat tidur saat ia terjaga di pagi hari. Kedua, ada
seseorang yang akan mencucikan baju kotornya, dua hari sekali.
Kau tak
usah menggeleng-gelengkan kepalamu. Mana mungkin aku mengabaikan
pekerjaan rumah dan membiarkan suamiku mencuci bajunya sendiri. Itu
bukan yang diajarkan ibuku. Kesetiaan perempuan ditunjukkan dengan cara
melayani. Cukup sampai di situ. Tak usah disanggah lagi, begitu ibu
memberi nasihat seusai acara lamaran ketika itu. Bertahun-tahun aku
menyimpan nasihat itu baik-baik.
Kau tentu saja sulit membayangkannya. Untungnya lagi kau tak perlu bertemu ibuku.
Kau
harus segera pergi? Tidak biasa kau buru-buru mau pulang. Bukankah kau
menyukai duduk berlama-lama di halaman belakang rumahku ini. Lagipula
aku masih ingin ngobrol denganmu. Oh, kau ada janji dengan
orang lain. Aku harap kau tidak perlu merahasiakannya dariku jika kau
dan teman kita itu berencana minum teh di tempat biasa, sebab itu akan
membuatku merasa seperti orang lain bagi kalian. Kau tidak yakin aku
ada waktu untuk ikut bersama kalian sekalipun ini hari libur? Kebetulan
sekali aku sudah menyelesaikan semua urusan rumahku, termasuk mengganti
pisau cukur lama di rak sabun.
Jalan Enam Mei, 2009-2011