Sajak-sajak F. Moses |
Minggu, 04 December 2011 00:00 |
Litani Kata Aku percaya pada satu kata Frase dan klausa berkuasa Mencipta langit puisi Dan akan satu anak kalimat Judulnya tunggal milik semua Dikandung dari roh paragraf Dilahirkan penyair perawan Yang menderita sengsara Dalam pemerintahan pembaca tak bernama Kata wafat dan dimakamkan Turun ke tempat penantian Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya Naik ke taman makna Duduk di sebelah frase dan klausa Dari situ kata akan datang Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati Aku percaya akan roh puisi Kata-katanya tak pelik namun puitis Persekutuan para penyair puitis Pengampunan bagi penyempitan makna Kebangkitan bagi kata yang hilang Kehidupan kata dalam puisi Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu Amin. Telukbetung, Mei 2011 Makan Malam Sepiring kita berdua dua setengah centong nasi sepi sepotong daging malam beberapa lauk sisa keramaian tangan adalah sendok kaki adalah garpu sungguh indah makan berdua denganmu kalau haus tinggal minum air matamu kau haus juga minum air mataku kenyang langsung kita tidur bernyanyi bersama dalam dengkur kalau kau pusing tinggal masuk mimpiku kalau aku pusing juga tinggal masuk mimpimu "Mudah, kan," kataku "Kenapa juga makan malam mesti dibikin susah," katamu jadi silakan mari makan malam bersama kami dijamin kenyang seumur jagung Telukbetung, April—Mei 2011-05-31 Petik Bunga di Taman Rumahmu jalan-jalan di ranum pipi buka baju segala lagak mandi hujan tergelincir di licin leher tak kuasa terlalu saru mendaki bukit, aku malu lebih mulia berpintas motong jalan di tengahnya sasar jalan ke bawah makin malu petik bunga malam-malam malah digampar kedua orang tuamu terancam dibunuh rakyat sekampung "Ini Timur, Bung," kata mereka Telukbetung-Yogyakarta, Mei 2011 Sekolah Malam "Aku ingin kembali sekolah, Yah," kata sang anak memelas. "Kepada siapa? sudah tak mampu membiayaimu, macam-macam toh, tak ada lagi tempat buat orang susah macam kita." --"Kepada bulan dan bintang aku belajar, Yah." Memang lebih mudah baginya sekolah saat malam, tatkala orang-orang pada merem dan diam; tak ada jeweran apalagi dikte. Ia melangkah bersama ransel biru berisi dua lembar kertas satu pensil. Mencatat tujuh bintang dan satu bulan, jauh lebih indah dari kimia fisika, apalagi moral, katanya membatin. Telukbetung, Juni 2011-06-15 Soliter Gerimis Di teras rumah, kita pernah bak sepasang gerimis; tak pernah ragu menikam tubuh Memang terlalu mulia bila bumi tubuhmu adalah pepohonan rindang terlalu bersih Kau tatap mataku Aku kembali balas ke matamu. Begitu seterusnya masihkah perjumpaan ini seperti gerimis paling dingin membatu. Tanpa pernah menyelusup tanah ceruk tubuhmu. Lekuk lengan lekuk pinggul juga paling ngarai tubuhmu. Sayang kita terlalu bak sepasang gerimis; selalu bersama untuk menyelusup celah-celah kenangan kering. Tanpa pernah menggenang untuk kembali mengenang dari teras rumah masing-masing ingatan yang terlalu gampang melekang. Kau pilih kemarau Aku memilih hujan. Begitu seterusnya Kita memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta Beranikah kau jujur bak penyair? Setia bermalam menetak kata menjadi sekeping dua keping makna? Sayang, kau lebih memilih arti ketimbang makna Sayang, kau lebih mengenal pengartian ketimbang pemaknaan Terlanjur gawat; kita sama lebih memilih berarti daripada memaknakan arti Dasar kita gerimis, katamu. Dekat di mata tanpa sesap di hati. Begitulah kemarin, kita bak sepasang gerimis, kau masih ingat? Telukbetung, Oktober 2011 ----- F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari. Menulis pusi dan cerpen di berbagai media. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Lampung. |