Sabtu, 24 Desember 2011

Sajak-sajak F. Moses


Sajak-sajak F. Moses Print
User Rating: / 1
PoorBest 
Minggu, 04 December 2011 00:00

Litani Kata



Aku percaya pada satu kata

Frase dan klausa berkuasa

Mencipta langit puisi

Dan akan satu anak kalimat

Judulnya tunggal milik semua

Dikandung dari roh paragraf

Dilahirkan penyair perawan

Yang menderita sengsara

Dalam pemerintahan pembaca tak bernama

Kata wafat dan dimakamkan

Turun ke tempat penantian

Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya

Naik ke taman makna

Duduk di sebelah frase dan klausa

Dari situ kata akan datang

Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati

Aku percaya akan roh puisi

Kata-katanya tak pelik namun puitis

Persekutuan para penyair puitis

Pengampunan bagi penyempitan makna

Kebangkitan bagi kata yang hilang

Kehidupan kata dalam puisi

Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu

Amin.



Telukbetung, Mei 2011







Makan Malam



Sepiring kita berdua

dua setengah centong nasi sepi

sepotong daging malam

beberapa lauk sisa keramaian

tangan adalah sendok

kaki adalah garpu

sungguh indah makan berdua denganmu

kalau haus tinggal minum air matamu

kau haus juga minum air mataku

kenyang langsung kita tidur

bernyanyi bersama dalam dengkur

kalau kau pusing tinggal masuk mimpiku

kalau aku pusing juga tinggal masuk mimpimu

"Mudah, kan," kataku

"Kenapa juga makan malam mesti dibikin susah," katamu



jadi silakan mari makan malam bersama kami

dijamin kenyang seumur jagung



Telukbetung, April—Mei 2011-05-31







Petik Bunga di Taman Rumahmu



jalan-jalan di ranum pipi

buka baju segala lagak mandi hujan

tergelincir di licin leher

tak kuasa terlalu saru mendaki bukit, aku malu

lebih mulia berpintas motong jalan di tengahnya

sasar jalan ke bawah makin malu

petik bunga malam-malam

malah digampar kedua orang tuamu

terancam dibunuh rakyat sekampung

"Ini Timur, Bung," kata mereka



Telukbetung-Yogyakarta, Mei 2011





Sekolah Malam



"Aku ingin kembali sekolah, Yah," kata sang anak memelas.

"Kepada siapa? sudah tak mampu membiayaimu, macam-macam toh, tak ada lagi tempat buat orang susah macam kita."

--"Kepada bulan dan bintang aku belajar, Yah."



Memang lebih mudah baginya sekolah saat malam, tatkala orang-orang pada merem dan diam; tak ada jeweran apalagi dikte.

Ia melangkah bersama ransel biru berisi dua lembar kertas satu pensil.

Mencatat tujuh bintang dan satu bulan, jauh lebih indah dari kimia fisika, apalagi moral, katanya membatin.



Telukbetung, Juni 2011-06-15





Soliter Gerimis



Di teras rumah, kita pernah bak sepasang gerimis; tak pernah ragu menikam tubuh

Memang terlalu mulia bila bumi tubuhmu adalah pepohonan rindang terlalu bersih

Kau tatap mataku

Aku kembali balas ke matamu. Begitu seterusnya

masihkah perjumpaan ini seperti gerimis paling dingin membatu. Tanpa pernah menyelusup tanah ceruk tubuhmu. Lekuk lengan lekuk pinggul juga paling ngarai tubuhmu.



Sayang kita terlalu bak sepasang gerimis; selalu bersama untuk menyelusup celah-celah kenangan kering. Tanpa pernah menggenang untuk kembali mengenang dari teras rumah masing-masing ingatan yang terlalu gampang melekang.

Kau pilih kemarau

Aku memilih hujan. Begitu seterusnya

Kita memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta

Beranikah kau jujur bak penyair? Setia bermalam menetak kata menjadi sekeping dua keping makna?

Sayang, kau lebih memilih arti ketimbang makna

Sayang, kau lebih mengenal pengartian ketimbang pemaknaan

Terlanjur gawat; kita sama lebih memilih berarti daripada memaknakan arti



Dasar kita gerimis, katamu. Dekat di mata tanpa sesap di hati.

Begitulah kemarin, kita bak sepasang gerimis, kau masih ingat?



Telukbetung, Oktober 2011





-----

F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari. Menulis pusi dan cerpen di berbagai media. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Lampung.

Share this post

 
Latest Articles