Sardi Kolot Gembel Kesohor |
Minggu, 11 December 2011 00:00 |
Cerpen Iwan Nurdaya-Djafar
JEJARING
sosial, kata orang, bisa membuat kenangan masa kecil hadir kembali.
Setidaknya ini terjadi tatkala sobatku Dahta menulis status di akun Facebook-nya, "Aku
bukan anak Tanjungkarang. Aku anak Hajimena. Tapi aku sering nongkrong
di Tanjungkarang saat SMA. Jadi aku tidak tahu siapa gerangan Sardi
Kolot. Jika berkenan, ceritakanlah padaku tentang Sardi Kolot...."
Membaca
status itu, aku serasa terlempar ke masa kanak yang jauh dan tergerak
untuk menceritakannya. Sardi Kolot adalah gembel kesohor di
Tanjungkarang sejak tahun 60-an hingga 90-an. Perawakannya
gemuk-pendek, berkulit hitam, berambut rada ikal. Tingginya sekira 155
dengan bobot sekitar 60. Dia lelaki lemah akal, jika bukan setengah
gila. Sardi dikaruniai umur panjang, tentu saja berikut kesintingannya
yang panjang pula. Berdasarkan daftar cabut, nyawa Sardi diambil Tuhan
pada usia 70-an.
Saban
pagi Sardi ke luar dari rumah sederhananya di bilangan Empang,
Lebakbudi. Diayunkannya langkah menuju Pasar Bambukuning yang tak jauh
dari rumahnya. Ke mana pun Sardi berjalan, dia selalu menenteng batu di
tangannya demi menjaga dirinya dari gangguan anak-anak nakal atau buat
menimpuk orang yang tak mau memberinya sekadar uang recehan.
Kemunculan
Sardi di tengah khalayak ramai selalu menimbulkan kepanikan. Dia tampil
sebagai sosok yang mengancam. Berdekat-dekat dengan Sardi adalah
sewujud kengerian. Berjauh-jauh dari Sardi adalah sebentuk rasa aman.
"Awas,
ada Sardi Kolooooooot...," pekik seseorang begitu melihat Sardi
melintasi kawasan pasar. Khalayak ramai pun segera menyingkir.
Anak-anak berlari ketakutan. Saking ngerinya, terdengar jua ledakan
tangis dari seorang anak yang penjirih dengan air muka pucat pasi yang
tengah diburu oleh Sardi. Anak itu lari terbirit-birit bersama pekik
ketakutannya. Bukan mustahil dia terkencing-kencing juga di celana.
"Tolong, toloooooonggg...," pekik anak itu seraya berlari menjauh.
Sardi terus mengejarnya. Anak itu berlari laksana kilat dan menghilang ke balik sebuah tikungan.
Demikianlah,
Sardi kerap melancarkan serangan dengan mengejar dan menimpuki sesiapa
saja yang berada di dalam jangkauan lemparan tangannya. Tanpa segan dia
akan mengejar anak-anak nakal yang mengganggunya. Tanpa segan dia akan
menimpuki orang yang ogah memberinya uang. Menariknya, dia tak pernah
tampil memelas seperti lazimnya peminta-minta manakala dia meminta uang
kepada siapapun saja. Dia justru tampil gagah perwira di dalam aksinya
memalak orang. Jiwa preman benar-benar telah bersarang di dalam jiwanya
yang sudah terganggu kelewat lama. Tanpa babibu, dia bisa mendadak
mengejar serombongan remaja perempuan yang boleh jadi di dalam
kesintingannya dirasakannya sebagai ancaman. Atau boleh jadi juga
secara merahasia dia ingin mendapatkan perhatian dari jenis kelamin
yang lain. Bagaimanapun jua, Sardi juga manusia, lengkap dengan nafsu
syahwatnya. Sardi adalah seorang bujang lapuk, hidup sebatang kara,
tanpa istri dan anak, namun tetap memiliki nafsu biologis agaknya.
Sungguhpun begitu, tak terbetik cerita bahwa Sardi pernah terlibat
kasus pemerkosaan atau merudapaksa perempuan. Dia tidak punya tampang
pemerkosa atau seorang pedofilia.
Sebaliknya,
ada kalanya pula justru Sardi yang menjadi bulan-bulanan karena
dijadikan incaran gangguan oleh serombongan anak lelaki yang nakal.
Merasa terusik, dia akan mengejar anak-anak itu sembari melesatkan
batu-batu yang ada di tangannya. Khalayak ramai sudah mafhum atas
perilaku aneh Sardi itu dan menganggapnya sebagai suatu kelaziman.
Kelaziman nan zalim, mungkin.
Dari
arah pasar, Sardi biasanya akan melanjutkan perjalanannya menuju
Gedongdalam di bilangan Enggal. Dan itu berarti dia akan melintasi gang
di sebelah rumahku. Aku hafal benar dengan jadwal Sardi melintasi gang
itu, sekira pukul sembilan pagi. Aku yang sekolah siang dan masih duduk
di kelas tiga sekolah dasar dan karenanya masih berada di rumah sepagi
itu, sering mengintip Sardi melintas gang itu. Kemudian aku
membuntutinya. Di Gedongdalam dia mendatangi rumah saudaranya, Pak
Yusuf, untuk meminta sarapan. Kurang-lebih satu jam dia mampir di rumah
saudaranya itu. Selepas makan, dia akan pulang melewati gang yang sama.
Kalau
naluri kenakalanku dan kawan-kawan sedang kumat, dari balik dinding
rumahku, kami akan mengintai kemunculan Sardi di gang sebelah rumahku
itu. Dengan tangan menggenggam batu kami bersiap-siap untuk
menimpuknya. Dunia tahu, timpukanku jarang meleset, dan karenanya acap
tepat menghantam badannya yang gemuk lagi pendek itu. Karuan saja dia
akan mengerang dan berang dan mengejar kami. Mulutnya menyerapah
melontarkan kata-kata makian dalam bahasa Sunda yang kasar.
"Anjing siaaaa..." makinya dengan wajah membengis.
Mendengar
makiannya kami tertawa belaka dan secepat kilat kami melesat ke arah
Lapangan Enggal yang terletak persis di depan rumahku. Bagai anak panah
lepas dari busurnya, tubuh kami melesat cepat, berlari terbirit-birit
sekencang bisa. Seingatku, tak pernah barang sekali pun Sardi berhasil
menangkap kami. Bahkan timpukannya pun tak bisa menjangkau kami yang
berjarak di luar sepelemparan tangannya.
Untuk
mengecohnya, biasanya kami berlari membelok ke Gang Melati yang tembus
ke Jalan Raden Intan. Tubuh Sardi yang gemuk membuatnya tak bisa
berlari dengan kencang. Beda benar dengan tubuh kami yang ramping
sehingga laksana kawanan kuda kaki dengan gesit kami bisa berderap
cepat. Dari kejauhan tampak Sardi ngos-ngosan kepayahan.
Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus diterkam ajal. Melihat hal
itu tawa kami makin menjadi-jadi. Kadang terkekeh. Kadang terbahak. Ada
kalanya sembari bergulingan di atas tanah tersebab tak kuat menahan
sakit perut akibat tawa terpingkal-pingkal yang terus berderai.
Dari
seorang warga kota aku mendengar kisah lain tentang Sardi. Pada suatu
siang yang terik, tak jauh dari rumah gubuk Sardi, di Jalan Tamin di
bilangan Empang, Lebakbudi, terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan
berderet panjang dan riuh oleh bunyi klakson yang tiada putus-putusnya.
Hiruk pikuk suasana dibuatnya. Kebisingan yang tak biasa benar-benar
merajalela. Ada apakah gerangan? Ternyata Sardi dengan gagah tegak di
tengah jalan sembari merentangkan kedua belah tangannya. Di dekat
kakinya di atas jalan raya itu teronggok bongkahan-bongkahan batu-batu
kerikil. Ada pula satu-dua yang berukuran besar, bahkan bata merah yang
masih utuh. Bermodalkan batu-batu yang siap ditimpukannya dia menuntut
agar kendaraan yang lewat mesti memberinya uang terlebih dulu. Tak
pelak lagi, kali ini jiwa preman Sardi sebagai pemalak betul-betul
tengah memuncak. Bukan betul sembarang betul, tapi betul, betul,
betul—persis seperti sepasang lidah Upin-Ipin menuturkannya.
"Dasar sinting!" semprot sejumlah sopir.
"Sardi Kolot, gelo siaaahh!” damprat supir yang lain.
Di
tengah sumpah serapah itu, toh Sardi tetap membatu. Teguh kukuh
berlapis baja. Dia bertahan sejadi-jadinya di tengah jalan raya.
Bentangan tangannya seolah menggarisbawahi perlawanannya yang degil tak
terkira. Keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat sengatan
matahari tiada dipedulikannya. Sardi tak pandang bulu, semua kendaraan
yang lewat entah mobil atau motor bahkan sepeda sekalipun mesti
membayar uang palakan. Sebuah sedan yang coba menyelonong begitu saja
beroleh ganjaran yang keras dari Sardi. Dengan batu tajam di tangannya
dia menggores badan mobil yang bercat mulus itu. Pengemudinya marah
besar, tapi Sardi segera mengambil dua bongkah batu bata di dekat
kakinya dan siap melemparkannya.
"Dasar gila!" semprot si pengemudi.
Hampir
terjadi perdebatan sengit antara keduanya. Tapi Sardi tak melayaninya.
Dia tetap bertahan meminta uang palakan. Akhirnya sang sopir mengalah.
Tak ada untungnya berdebat dengan orang gila. Sardi yang sinting berada
di luar jangakuan hukum. Tak ada sanksi atas perbuatan pidana yang
dilakukannya. Hukum justru dengan tegas memberi pengampunan bagi si
gila apabila dia berbuat tindak pidana.
Maka,
tiada pilihan lain bagi para pengemudi kendaraan selain memberi uang
palakan kepada Sardi Kolot. Karuan saja, sesiang itu Sardi panen raya
uang recehan yang menyesaki koceknya.
Aku
mengenal Sardi sejak rambutnya hitam belaka hingga putih semua.
Sepanjang tiga puluh warsa Sardi telah disapa dengan nama Sardi Kolot.
Kolot berarti ‘tua’ dalam bahasa Sunda. Aku tak tahu apakah Sardi
pernah muda. Tentu saja pernah karena demikianlah pertumbuhan anak
manusia. Tapi Sardi tampaknya adalah suatu perkecualian. Suatu anomali.
Boleh jadi, dia mengidap apa yang disebut orang Sunda sebagai kokoloteun,
yaitu penyakit kulit pada wajah karena sering kepanasan atau memakai
bedak murahan, kulit wajahnya menjadi hitam. Karena Sardi bukan seorang
perempuan dan karenanya tak mengenakan bedak murahan, maka wajah
hitamnya lebih disebabkan lantaran sering kepanasan. Faktanya adalah
sehari-harinya dia memang keluyuran menggelandang di bawah matahari
mencorong di Tanjungkarang. Jika demikian halnya, alih-alih awet ngora alias awet muda, dia justru awet kolot atawa
awet tua! Sungguh sebuah anomali bagi seorang anak manusia, yang saat
dikenal orang hingga dilupakan orang sudah berpenampilan dan berusia
tua.
Sungguh
berkebalikan dengan anak manusia yang berangkat menua, daerah
Tanjungkarang dan daerah-daerah lain yang mana pun di dunia justru
beranjak muda senantiasa. Terus meremaja. Saksikanlah,
bangunan-bangunan lama entah bernilai sejarah entah tidak diruntuhkan
dan digusur begitu saja untuk kemudian ditukar dengan gedung-gedung
baru yang tumbuh menjulang dengan citra arsitekur masa depan. Jalanan
mulus atau berlubang beserta jalan layang jalin-menjalin tak keruan
menyusun aneka simpang-siur persis seperti spageti panas yang masih
mengepul di atas pinggan. Perumahan berhamparan di sekeliling kota dan
terus melesak memperlebar kota. Kota-kota mekar atas kemekarannya
sendiri di luar rencana tanpa memberi ruang bagi cagar budaya.
Tanjungkarang pun meneruskan detak kehidupannya. Kota yang pernah
menyaksikan kehidupan dan penghidupan seorang gembel kesohor bernama
Sardi Kolot. n
|