Sajak-sajak Mugya Syahreza Santosa |
Minggu, 11 December 2011 00:00 |
Runcing Kuku Hujan runcing kuku hujan yang menghitam jadi bahasa yang tak pernah kekal. rompang daun tercakar olehnya kini menanggung perih musim. tengkuk maut di liuk batang pohonan, senyap mencerap di pekuburan, menyalakan bara mata kita. begitu berangjangsana mereka hanya ada marus angin yang lesap ke arah sungai. tirus batu tempat tiba menimpa juga kecup pelipis rumputan, akan dengan segera meniadakan mereka. tapi bilur dosanya di sekujur tubuh kita tak akan pernah sementara adanya. 2011 Mata Bintik Kumbang Kepik setengah leci mungil itu bisa membuka diri, serupa perisai renik baja. mengayuh membelah dada udara. merah menghimpun gilap cahaya. tak terintai oleh siapa-siapa jatuh menimpa selajur daun jagung saja. merah cerah pada tubuhnya arsenik mujarab, isyarat bagi pemangsa abadinya, burung dan laba-laba. bila ia hinggap ke jari tangan kita, seperti permata cincin saja. yang dapat menerka jauh rezeki kelak menghampiri kita. juga para petani yang diam-diam mengharap jumlah ganjil pada mata bintiknya. yang tak genap, tak lebih dari tujuh saja penanda musim panen raya telah mustajab dalam doanya. ah, kaki kecil mereka seakan-akan tak pernah menemu rintang belaka menyusuri pucuk alang. sebelum dikejutkan gedebuk kaki tergesa kita, ia mengawang dan hilang. bara yang melayang-riang di siang yang sejenak lagi akan lekang. 2011 Musim Liar Bekicot Lihai seribu lamban hanyalah peram sabar di lembut perutnya yang tergelar. rayapan yang hapal setiap jengkal curam jalan, serintang ranting atau tanah basah oleh kerjap hujan. tersilap lembab di antara batuan. segan meninggalkan tilas diri sungguh rapi, ia tak ingin membawa sebutir pasir sekalipun, terkulum di dada halusnya tempat liur terus mengucur. perlahan mengintai hijau daunan menghindar getah atau asin garam. ia tak ingin ceroboh menunaikan puncak santapan, sepucuk kembang atau malahan sebatang alang. sungguh ia tangguh memanggul penuh seluruh cangkang tubuh. dengan tak henti-henti merapal doa penghindar duri awas dari dosa serampangan kaki tak lengah mendaki tangkai sunyi. lebih ulung dari ular yang menyeringai bergelung di pokok pohonan. lebih gigih dari kadal yang percuma waktunya habis untuk mengintai. ia hisap secabik sari pandan wangi yang kini ia hinggapi. penguasa yang cergas merampas-peras pati. sebelum akhirnya derap kaki kita tersadap pagi. ia lebih dulu sembunyi, menyusup kembali, terengkuh-rungkup gaun kaku dan berpura-pura mati dilindas sepi. 2011 ----- Mugya Syahreza Santosa (Faisal Syahreza), lahir di Cianjur, 3 Mei 1987. Sekarang bekerja sebagai pekebun dan bersuntuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung dengan bergiat di ASAS UPI. Buku puisinya Hikayat Pemanen Kentang (2011). Puisinya dan tulisannya lainnya dimuat di berbagai media. |