Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen Dahlia Rasyad


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 28 Juni 2009
Cerpen Dahlia Rasyad

Bulan Separuh Bayang

SEMENJAK kepergian ayah, ibu selalu menghabiskan malam di kursi goyang sambil memandang pesona bulan dan kesejukan taman. Saat-saat di pertengahan kalender ia sudah duduk di sana sambil membaca novel tua yang romantis. Novel itu, selalu ia ulang-ulangi ke sekian kalinya. Apalagi kalimat-kalimat pembuka di bab-bab yang bukan saja puitis, tetapi mampu sejenak membawanya ke realitas fiksi itu. Bab yang dibuka dengan kalimat seperti ini:

Gadis bernama Pegasus itu tergolek cantik di perebahan empuk yang terbuat dari bulu beruang hitam. Sayap putihnya terlihat gemulai, mengundang tangan purba Sang Petualang Bellerophon yang kekar. Perlahan pemuda tampan itu menyentuhinya dengan mata yang semakin tak terjinakan, liar menyusuri tubuh Pegasus. Mendekap dan menciuminya dengan nafas jantan. Memburu dengan gencar.

Di situlah ia teringat ayah. Ciuman ayah yang begitu bergejolak hingga aku terlahirkan, yang kadangkala berhasil menitikkan air mata. Ibu akan sesekali menangis tersedu sambil memandangi foto ayah dan foto-foto mereka sewaktu kemesraan di tahun-tahun awal pernikahan. Tapi kini senyum ibu tak lagi sama dengan aslinya. Senyum yang terlihat mencekam karena tangis yang tak kunjung redam.

Namun yang kupertanyakan mengapa ibu tak pernah mengunjungi ayah. Ibu tak pernah membawaku ke kuburan ayah. Tak sekalipun. Bahkan berkali-kali kutanya, ibu hanya menjawab dengan mata yang tajam. Hingga aku terpaksa mencari tahu sendiri karena ternyata ibu harus mengonsumsi obat-obatan penenang jiwa. Akibat rindu yang tak pernah jua sirna hingga ia belumlah berduka, belumlah merasa bahwa ayah telah pergi. Cinta masih tertinggal, itu yang kusimpulkan.

Sering di malam-malamnya kudengar ia meracau dalam mimpi. Tubuhnya mengejang dengan bulir-bulir keringat membasahi. Ibu menyebut nama ayah dan seperti memohonnya kembali. Namun aku dan dirinya tahu kalau itu sudah tak mungkin lagi. Saat itulah, selalu, aku hanya bisa kembali ke kamar dan menumpahkan semua air mata di boneka dan bantal. Atau, mendekap ibu sekuat mungkin agar ia tahu aku bersamanya.

Ketika aku baru mulai menstruasi, bulan pertama di hari yang pernah ayah katakan padaku sewaktu aku masih kanak-kanak, aku mulai membayangkan menjadi ibu. Sesosok ibu seperti ibuku. Bahkan di saat itu aku belum tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Yang ada hanya emosi liar yang terkadang menuntutku untuk berfantasi, namun terasa memuakan dan memalukan setelahnya. Aku tak bisa membagi cinta yang mungkin saat itu untuk orang lain, sebab ibu seakan telah menempa hatiku dan seluruh rasa cintaku.

Selama bertahun-tahun sampai aku menemukan seorang lelaki dan kami saling mencintai, kuburan ayah belum juga kutahu di mana letaknya. Hingga suatu hari ketika aku merasa harus mengadukan pada ayah bahwa aku akan menikah, aku menemukan sebuah buku harian di lemari tua yang telah tersimpan lama di basemen rumah. Buku harian berjilid cokelat yang nyaris habis termakan rayap dipenuhi jelaga dan debu-debu lembab di setiap lembarnya dengan huruf-huruf menyambung Van Ophuysen.

Buku harian itu mencatat semua kegiatan dan perasaan ayah. Mulai dari agenda-agenda kerjanya sebagai arsitek sampai hari-hari ketika ibu, dirinya, dan aku piknik di taman sambil membawa kucing peliharaan ibu yang sudah tua. Kucing betina abu-abu yang bernama Nezzy. Lengkap dengan foto-foto kami dan kucing itu. Aku teringat pada Nezzy yang tak pernah kulihat lagi semenjak aku masuk sekolah dasar. Seingatku, ayah telah menguburkannya di taman karena katanya Nezzy tertabrak mobil sewaktu aku tertidur.

Aku ingat ibu pernah berkata padaku di meja makan kalau Nezzy memang sudah waktunya berpulang karena ia sudah tua dan lemah. Tak perlu dipertanyakan tapi didoakan. Kulihat ayah memandangku tanpa sedikit pun anggukan. Hanya diam.

Lalu aku membaca tulisan ayah tentang ibu yang sering membaca roman-roman klasik setiap malam sebelum tidur dan sesekali menulis tentang alkisah cinta yang menggelora. Alkisah-alkisah yang menggairahkan dan mengharu biru. Perjuangan cinta dan kehidupannya. Novel-novel itu, novel-novel yang ibu baca sampai sekarang.

Di lembar-lembar akhir buku harian itu, tiba-tiba aku menemukan tulisan tentang Nezzy. Ayah menuliskan bahwa ia menemukan Nezzy di dekat tabung gas tanpa kepala dan kelaminnya. Ekor Nezzy yang panjang dan lebat itu terpotong menjadi tiga. Darah bergumpal di sekeliling tubuhnya. Ayah juga menemukan perut Nezzy terbelah dari dada hingga ke perut. Seperti ada yang ingin menguras isi perutnya. Lalu ibu datang dengan pisau daging di tangan, melihat ayah menemukan Nezzy yang belum sempat ibu sembunyikan. Dengan rasa heran ayah tanyakan, tapi ibu hanya menceritakan bahwa ia melihat Nezzy ditunggangi kucing jantan sambil lehernya digigit dan mengerang.

Aku terperangah.

Aku bergegas menemui ibu yang sedang duduk di teras menikmati ayunan kursi sambil membaca novel itu. Duduk di bawah sinar bulan yang benderang. Perlahan kuhampiri ia dan kutatap wajahnya sedekat mungkin. Di bawah remang putih, ia tersenyum padaku. Pucat. Senyuman dengan tatapan mata yang datar. Dingin. Ia tersenyum, namun bukan pada wajahku. Ia tersenyum pada objek lain. Benda lain yang tak pernah diharapkannya untuk membalas senyumannya. Ia tersenyum padaku yang dianggapnya benda mati. Matanya itu, begitulah ia bercerita.

Dan semua terungkap.

Hari itu ibu bersikap tenang seperti biasanya, layaknya seorang ibu yang terlibat rutinitas sehari-hari di rumah. Di meja makan di saat kuputar ulang hari silam, aku tanyakan lagi tentang Nezzy. Awalnya aku gugup karena takut ibu akan menganggapku aneh karena aku melihat Nezzy yang sudah mati. Dan dugaanku benar, ibu tertawa cekikikan.

"Nezzy kita sudah mati. Mana mungkin ada Nezzy di sekitar sini," jawab ibu.

Aku terdiam. Aku salah.

"Tapi anak-anak Nezzy ada di sini."

Aku terkejut.

"Waktu ibu membunuhnya, Nezzy sedang bunting. Ibu lihat anaknya ada empat. Kesemuanya mirip Nezzy," ibu tersenyum manis tapi kemudian mengecut.

"Tapi, mereka bukan saja punya Nezzy. Nezzy sebenarnya kucing yang lucu. Tak ada dendam, iri, dengki di hatinya. Dia juga tidak pernah berkata dusta. Dia hanya sesekali marah dan tidak ingin disentuh karena manusia mengganggunya."

Ibu melihatku. Tajam.

"Manusia yang punya nafsu, hasrat, keinginan. Manusia yang selalu mengejar kekuasaan demi kebahagian. Kau tahu, seperti Gustafku."

Aku tak mampu lagi menguasai keterkejutanku waktu mendengar nama ayah. "Gus..Gustaf di...di mana, Bu?"

"Ia sedang tidur."

Ibu tidak lagi melanjutkan. Ia bungkam. Dan seperti biasa, ia menuju kursi goyangnya dan menggoyangkan tubuhnya yang menyandar tenang. Lalu ia mengambil novel itu dan membuka lembarnya. Membaca lagi.

Aku bergegas ke kamar ibu, membongkar semua barang-barang yang ada di sana. Mencari sesuatu. Sejujurnya pikiranku tak karuan. Aku tidak tahu apa yang kucari dan aku juga tidak tahu pasti di mana itu. Tiba-tiba hatiku tertuju pada ranjang ibu. Sebuah dipan berkaki pendek yang sudah sangat tua. Dipan itu nyaris barang rongsok dengan daging kayu yang sudah reot karena keropos. Tapi itu peninggalan nenek membuatku tak pernah mau menyarankan ibu untuk membuangnya. Dengan cemas aku menggeser ranjang itu dan membuka karpetnya. Aku tersentak ketika aku menemukan sebuah kalimat bertuliskan nama ayah tercinta. Gustafian Alfansyah. Sebuah nama dengan gurat tulisan seseorang. Tulisan dari ujung jari pada sebuah bidang semen basah. Tulisan yang sama seperti tulisan ibu.

Di situlah kutemukan ayah. Ayahku yang terbunuh saat aku berusia tiga belas tahun. Saat aku sedang tidur. Saat kehangatan ayah memudar. Setelah ayah tahu ibu membunuh Nezzy. Setelah ibu mengira bahwa ayah tidak benar-benar tulus mencintainya. Setelah semuanya, semuanya, aku menangis. Hanya menangis.

"Gustaf sangat suka dengan Jeniffer Lopez. Dia sering menyuruhku untuk berdandan seperti dia. Dia menyukai warna kulit dan gincunya, wangi parfumnya, dan suara merdunya yang menentramkan hati. Begitu ia bilang. Sesekali Gustaf juga mengatakan kalau tubuh gadis itu sangat padat dan seksi. Menggairahkan. Dia mengatakan itu sambil memelukku di ranjang. Saat dia ingin tidur dan bermimpi yang indah."

Aku menyeka air mata melihat kursi goyang ibu. Sudah bertahun-tahun berlalu dan rumah terasa gersang berdebu. Perlahan aku duduki kursi itu, menarik novel di sampingku dan membalik-balik lembarnya. Terbaca sebuah halaman yang bertuliskan sederet dialog.

"Ingatlah Wrief, dia adalah hasil dari hubungan Medusa dan Poseidon yang menyakitkan. Dan ia kehilangan Medusa yang telah melahirkannya akibat kebuasan budak Perseus. Dirinya begitu sakit."

"Aku akan membawanya ke Olympus yang tinggi dan membunuh Athena untuknya. Kami akan hidup bahagia."

"Walau kau tahu ia akan menghabiskan hari-harinya dengan membawakan petir untuk Zeus?"

Wrief tertunduk.

"Ingatlah Wrief, darahnya bukan hanya seperti darah yang dimiliki Chrysaor, tetapi juga darah ular-ular dari padang pasir Lybian."

Dan aura tubuh Bellerophon yang temaram hangat saat di ranjang itu tak berhasil menyentuh. Mungkin Bellerophon telah menjadi korban Pegasus yang sedih. Tapi tidak, Pegasus begitu hambar.

Aku mendongak ke langit, melihat bulan putih yang tampak penuh dengan khidmat. Tapi ternyata, setengahnya hanya bayangan. Bayangan.