Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 25 Januari 2009 |
Sajak M. Harya Ramdhoni Julizarsyah |
NARASI SEKALA BEGHAK I seingatku telah kita lalui seratus senja perjalanan berkuda melewati beratus pedukuhan tempat bersinggah para ksatria kita bermula dari padepokan yang jauh rumah prajurit syahadat ditempa sebagai petarung "selamat tinggal pasai selamat tinggal peradaban" kami ucapkan dengan berat hati salam berpisah pada kampung halaman penuh duka cita kami tinggalkan beribu kenang juga percintaan suci dengan perawan-perawan desa yang memupuk iman hingga tapal batas negeri kami masih sempat menoleh memandang haru surau kampung untuk yang terakhir kalinya di setiap depa petualangan ini kita bertarung menancapkan tunggul al liwa di atas negeri tertakluk di setiap depa kelana ini kita berjuang mengabarkan risalah pada setiap jiwa jiwa-jiwa penyembah gunung, bebatu dan pokok makhluk-makhluk biadab penghuni tanah-tanah asing yang tak pernah kami baca dalam kitab suci kami ajarkan mereka tentang Tuhan yang satu tentang utusan terakhir sebagai penutup kehidupan mereka tak terpukau pada Tuhan yang tak kasat mata-mata mereka nyalang dan bersuara sadis bagai serombongan ular mendesis menghardik kami sebagai segerombolan penipu Desember 2008-Januari 2009 JALAN KERIS II peristiwa berbekas dalam ingatan sesaudara dedaun hijau gugur sebagai pengiring lelaki-lelaki tangguh mati di awal Oktober bisu lelaki-lelaki perkasa penembak meriam berselempang cita-cita ibu pertiwi bersemat jiwa petarung tak sudi berbalik langkah dalam sumur tua, sempit dan bau napas muda mereka berakhir menggelepar sesaat lalu diam menuju baka lelehan darah masih mewarta wangi bunga sewangi kamboja yang kupetik di pinggir nisan sang petarung beribu batu dari situ pada sebuah sungai ribuan jasad mengapung di tepinya di sini dimusnah satu kaum manusia-manusia angkuh yang konon tak setia mereka yang berjalan tanpa jiwa dengan kepala tegak di persimpangan kiri jalan napas mereka sewangi keringat pekerja keringat mereka sewangi napas petani dengarlah derap kaki mereka yang lamat nyaris tak terdengar laksana hantu karena mereka mambang yang berkeliaran dengan wujud penuh darah dan nanah di sini jalan keris ialah riwayat ditulis penuh angkuh namun gamang oleh mpumpu penjilat raja dan sultan di sini riwayat adalah khianat digubah sekumpulan kurawa dan seekor durna berpestalah kalian pemilik riwayat berpestalah kalian selayaknya Tuhan menujumkan kepastian esok pagi seolah seisi dunia tertakluk padamu Bandar Lampung, Desember 2008 KUPACU HARIMAU INI MENUJUMU : Liya kupacu harimau ini menujumu di kala purnama menabikkan salam dan burung hantu menyampaikan pesan dari lelembut penguasa pesagi kupacu harimau ini menghampirimu yang berteduh di rerimbun batang manau sambil merekareka perjumpaan kita di sempadan kelamin ku lalui sembilan benua demi engkau demi engkau perempuan jelita zuriat putri seperdu julurkan lehermu perempuan bermata sendu agar dapat ku pandang wajahmu yang merangsang birahi engkau menunggu disana dengan wajah getir dan rona merah yang menyimpan gelisah kubaca ngeri pada parasmu; "adakah dia lelaki pemenggal tengkuk moyangku?" takkan kupenggal leher berjenjang itu cukuplah leluhurku pernah berdosa kuhanya ingin mengecupnya sambil terpukau menyaksi butiran air berkejaran di kerongkong kupacu harimau ini menujumu bergegas memulai kembara panjang menumpang perahu masa di sebuah tempat sunyi dan magis kita telah dinanti oleh sorak-sorai suka cita kaum sudra dan kidung agung kaum brahmana Bandar Lampung, 16 Desember 2008 M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, dosen Unila Lampung |