Selasa, 14 Juni 2011

Sajak M. Harya Ramdhoni Julizarsyah


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 25 Januari 2009
Sajak M. Harya Ramdhoni Julizarsyah

NARASI SEKALA BEGHAK I

seingatku telah kita lalui

seratus senja

perjalanan berkuda

melewati beratus pedukuhan

tempat bersinggah para ksatria

kita bermula dari

padepokan yang jauh

rumah prajurit syahadat

ditempa sebagai petarung

"selamat tinggal pasai

selamat tinggal peradaban"

kami ucapkan

dengan berat hati

salam berpisah pada

kampung halaman

penuh duka cita kami

tinggalkan beribu

kenang juga

percintaan suci dengan

perawan-perawan desa

yang memupuk iman

hingga tapal batas

negeri kami masih

sempat menoleh

memandang haru

surau kampung

untuk yang terakhir kalinya

di setiap depa

petualangan ini

kita bertarung

menancapkan tunggul al liwa

di atas negeri tertakluk

di setiap depa

kelana ini kita berjuang

mengabarkan risalah

pada setiap jiwa

jiwa-jiwa penyembah gunung,

bebatu dan pokok

makhluk-makhluk biadab

penghuni tanah-tanah asing

yang tak pernah kami

baca dalam kitab suci

kami ajarkan mereka

tentang Tuhan yang satu

tentang utusan terakhir

sebagai penutup kehidupan

mereka tak terpukau

pada Tuhan yang tak kasat

mata-mata mereka nyalang

dan bersuara sadis

bagai serombongan

ular mendesis

menghardik kami sebagai

segerombolan penipu

Desember 2008-Januari 2009

JALAN KERIS II

peristiwa berbekas dalam

ingatan sesaudara

dedaun hijau gugur

sebagai pengiring

lelaki-lelaki tangguh mati

di awal Oktober bisu

lelaki-lelaki perkasa penembak meriam

berselempang cita-cita ibu pertiwi

bersemat jiwa petarung tak

sudi berbalik langkah

dalam sumur tua, sempit dan bau

napas muda mereka berakhir

menggelepar sesaat

lalu diam menuju baka

lelehan darah masih mewarta

wangi bunga sewangi kamboja

yang kupetik di pinggir

nisan sang petarung

beribu batu dari situ

pada sebuah sungai

ribuan jasad

mengapung di tepinya

di sini dimusnah satu kaum

manusia-manusia angkuh

yang konon tak setia

mereka yang berjalan

tanpa jiwa dengan kepala tegak

di persimpangan kiri jalan

napas mereka sewangi keringat pekerja

keringat mereka sewangi napas petani

dengarlah derap kaki mereka yang lamat

nyaris tak terdengar laksana hantu

karena mereka mambang

yang berkeliaran dengan

wujud penuh darah dan nanah

di sini jalan keris ialah riwayat

ditulis penuh angkuh namun gamang

oleh mpumpu penjilat raja dan sultan

di sini riwayat adalah khianat

digubah sekumpulan kurawa

dan seekor durna

berpestalah kalian pemilik riwayat

berpestalah kalian selayaknya Tuhan

menujumkan kepastian esok pagi

seolah seisi dunia tertakluk padamu

Bandar Lampung, Desember 2008

KUPACU HARIMAU INI MENUJUMU

: Liya

kupacu harimau ini menujumu

di kala purnama menabikkan salam

dan burung hantu menyampaikan

pesan dari lelembut penguasa pesagi

kupacu harimau ini menghampirimu

yang berteduh di rerimbun batang manau

sambil merekareka perjumpaan

kita di sempadan kelamin

ku lalui sembilan benua demi engkau

demi engkau perempuan jelita

zuriat putri seperdu

julurkan lehermu

perempuan bermata sendu

agar dapat ku pandang wajahmu

yang merangsang birahi

engkau menunggu disana

dengan wajah getir

dan rona merah yang

menyimpan gelisah

kubaca ngeri pada parasmu;

"adakah dia lelaki

pemenggal tengkuk moyangku?"

takkan kupenggal leher

berjenjang itu

cukuplah leluhurku pernah berdosa

kuhanya ingin mengecupnya

sambil terpukau menyaksi

butiran air berkejaran

di kerongkong

kupacu harimau

ini menujumu

bergegas memulai

kembara panjang

menumpang perahu masa

di sebuah tempat

sunyi dan magis

kita telah dinanti

oleh sorak-sorai suka cita

kaum sudra dan kidung

agung kaum brahmana

Bandar Lampung, 16 Desember 2008

M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, dosen Unila Lampung