Pagar |
Sabtu, 30 July 2011 20:26 |
Cerpen Aris Kurniawan
IA
sampai di depan pintu pagar rumah kekasihnya. Sekuntum bunga kering
melayang jatuh tepat di ujung sepatunya. Sunyi mengisi jalanan. Cahaya
lampu memendar redup, tak mampu menyentuh kerikil di permukaan jalan.
Gerumbul dedaun pohon mangga dari rumah sebelah menelan bayangan
tubuhnya yang canggung mencoba menepis ragu. Dia meraba ponsel yang
mendekam damai di kantong celana jins ketatnya. Merogohnya perlahan.
Menyusuri nama-nama di daftar teman yang tersimpan dalam ponselnya. Ada
lebih dari lima ratus nama. Nama kekasihnya yang berhuruf depan M ada
di urutan ke seratus.
Ketika
nama itu muncul, ia hanya memandangi rangkaian huruf-huruf yang
membentuk nama kekasihnya seraya menyunggingkan senyum, tapi ragu untuk
menekannya. Mendesah pelan, ia mengambil sebatang rokok dari kantong
jaketnya. Sambil menghembuskan asap rokok dari rongga mulutnya ia
mendesah lirih, inikah saatnya...
Sudah
lama sekali ia memendam gelora hasratnya. Kadang merasa harus
meraung-raung demi meredam gejolak dalam tubuhnya yang ia tahu persis
tak mungkin tidak dimuntahkan. Ia kerap terbangun tengah malam. Keluar
dari kamar lantaran takut melihat pantulan wajahnya di cermin, wajah
yang pasti terlihat kusut masai bagai kertas diremat-remat. Duduk di
kursi goyang kesayangannya di ruang tengah, menekan-nekan nomor telepon
sekenannya. Sekali dua kali ada yang mengangkat, lantas didengarnya
orang menggerutu, bahkan maki-maki.
Usianya
telah menginjak 42. Tapi seperti baru terlahir 12 tahun lalu dalam
urusan asmara, sehingga harus bertanya pada Joe, keponakannya, yang
baru kelas satu SMA. Sialnya Joe malah meledeknya kalau ia tak
memberinya uang.
"Om pacaran saja sama Tante Jum," kata Joe, "Dia penggemar tanaman, juga kaya, Om." Kalau sudah begitu ia jadi langsung ilfeel
pada keponakannya itu. Tante Jum, tetangganya, perempuan lajang
seusianya yang pernah menetak kepala seekor kucing sampai pecah hanya
lantaran si kucing mematahkan ranting tanaman piaraannya. Pacaran
dengan wanita itu? Membayangkannya saja ia bergidik.
Sejurus
matanya yang letih menyorot pintu rumah itu, seperti ingin menembus.
Tapi mendadak gugup melandanya lagi. Apa kira-kira yang bakal
dilakukannya kalau nanti bertemu.
"Pertama-tama tentu Om harus memberikan senyum paling manis buat dia." Ia ingat saran keponakannya.
Ia telah
melintasi sejumlah provinsi, menyeberangi Selat Sunda, untuk sampai di
depan pintu pagar rumah kekasihnya. Ia menyeka wajahnya dengan tisu
basah. Tapi itu tak membuatnya cukup merasa segar. Karena keringat yang
mengucur dari pori kulitnya sejak di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang
belum dibasuh meninggalkan lengket dan rasa tak nyaman di sekujur badan.
Sepenggal
bulan menggantung di ujung langit yang bersih. Angin merayap
perlahan-lahan meraba tengkuknya. Suara kendaraan dari jalan besar
terdengar sayup-sayup. Tadi ia menyuruh sopir taksi menurunkannya di
ujung jalan kompleks perumahan ini. Ia memilih meneruskan dengan
berjalan kaki. Ia khawatir suara kendaraan itu mengganggu rencananya
membuat kejutan. Tidak terlalu sulit mencari rumah kekasihnya di kota
kecil ini. Apalagi kekasihnya telah menuliskan alamat secara sangat
perinci. Terbukti, hanya butuh 15 menit ia telah berdiri di depan
alamat yang dituju.
Disapukan
pandanganya ke rumah kekasihnya yang tampak tengah menunggu seseorang
datang mengetuk pintu. Rumah itu persis dengan yang dideskripsikan
kekasihnya. Rumah model zaman dulu yang memiliki dinding bagian depan
tinggi berbentuk huruf V terbalik, dihiasi ornamen yang membentuk huruf
M. Temboknya bercat ungu, di teras yang membentuk huruf L dengan
atapnya disangga tiang tiang besi kecil dan ramping, terdapat sepasang
kursi rotan. Tembok setinggi satu meter memisahkan teras dengan
halaman. Pohon belimbing dan jeruk bali, masing-masing berdiri di pojok
halaman sebelah kanan dan kiri, digelantungi pot-pot gerabah berisi
aneka bunga-bungaan yang menjuntai ke bawah. Keset sabut kelapa
bergambar hati di depan pintu masuk. Dan tentu saja nomor 69 di pagar
teralis warna perak yang berjarak beberapa senti dari tempat ia
sekarang berdiri.
Kekasihnya
acap menjelaskan, di kursi rotan itu dia duduk menghabiskan waktu senja
seraya memandangi tanaman yang dirawatnya sepenuh cinta. Tak heran bila
mereka pun tumbuh subur dan selalu siap memberi keteduhan yang
diperlukan penghuni rumah. "Duduk di situ sampai gelap turun dan
menyalakan lampu-lampu," ujar kekasihnya.
Sangat
mudah baginya menekan bel yang terdapat di pojok dekat tiang lampu.
Namun, ia merasa bukan sekarang saat yang tepat memberi kejutan. Dari
balik jendela berbentuk persegi panjang ia melihat lampu di ruang
tengah masih menyala. Ia juga menangkap pendar sinar dari pesawat
televisi. Mungkin kekasihnya tengah menonton televisi. Acara apa yang
ditonton dini hari begini?
"Dipeluk
olehmu pasti sedap rasanya di malam berhujan begini," begitu kekasihnya
kerap berbisik, dikirimkan gelombang elektromagnetik ke telinganya,
malam-malam. Ia hanya tertawa ngakak. Ia sendiri ragu apa makna
tawa seperti itu. Gembira, heran, cemas, atau takut. Atau mungkin
seluruh perasaan itu berbaur sempruna menciptakan sensasi yang aneh
dalam benaknya.
Ia
teringat muasal hubungannya dengan kekasihnya. Lalu ia akan merasa
terheran-heran bagaimana sebuah kejadian salah sambung dapat berlanjut
menjadi sebuah hubungan kekasih. Sementara dengan orang yang saban hari
bertemu, di bawah satu atap dan lantai yang sama, begitu asing dan
jauh. Ia tengah gelisah, bersiap tidur setelah bosan menonton teve yang acaranya begitu-begitu saja. Menjengkelkan dan tidak kreatif.
"Fred," ujar telepon salah sambung itu, dengan intonasi yang menyentak.
"Fred? Anda siapa? Salah sambung!" sahutnya.
Ia hampir saja menutup percakapan yang menjengkelkan itu ketika mendadak ia seperti pernah akrab dengan suara itu.
"Oh maaf, jadi saya salah sambung ya?"
"Ya Anda salah sambung, saya bukan Fred."
"Tapi di
ponsel saya benar lo ini nomor Fred. Ya sudahlah mungkin operatornya
lagi ruwet. Maaf, kalau begitu saya bicara dengan siapa?"
"Saya Sam di Jakarta."
"Hah, Jakarta. Ya ampun jauh sekali ya."
"Anda di mana?"
"Pekanbaru."
"Oh."
"Kenapa oh? Anda pernah ke Pekanbaru?"
"Belum pernah ke sana. Oya, Fred siapa?" ia bertanya setelah merasa tanggung.
"Untuk apa Anda tahu? Kita tidak saling kenal kan?"
"Baiklah, maaf. Saya tutup telepon ini karena saya telah bicara dengan orang yang tak saya kenal."
"Loh kok marah sih?"
Ia tertawa.
"Kok tertawa?"
Percakapan terhenti sampai di situ. Tampaknya gangguan sinyal. Esoknya ia menerima telepon lagi dari orang yang sama.
"Benar Anda mau tahu tentang Fred?"
"Bukankah saya orang yang tidak Anda kenal?"
"Sekarang saya sudah kenal. Bukankah kemarin Anda sudah menyebutkan nama?"
Ia tertawa.
"Mau tahu tidak?"
"Apakah itu penting buat saya?"
"Baiklah. Saya tutup telepon ini. Terima kasih."
Ia
tengah menghadapi banyak persoalan di kantor. Ia merasa tertekan
lantaran beberapa bulan ini selalu gagal memenuhi target. Terlalu
banyak intrik. Rekan-rekannya di kantor selalu memandangnya sebagai
pesaing yang siap melemparkan mereka keluar. Dia sungguh butuh teman
untuk mengobrol. Ia merasa telepon salah sambung itu menjadi teman ngobrol yang sedikit menolongnya dari suntuk. Maka, setelah tiga hari menahan diri, akhirnya ia menghubungi nomor si salah sambung.
"Fred kekasihmu?"
"Bukan lagi. Dia pengkhianat."
"Terus untuk apa kamu mau menghubungi dia?" Tanpa sadar ia mengganti "anda" dengan "kamu".
"Apakah itu penting buatmu? Kalau memang penting buatmu, baiklah saya ceritakan."
Lantas
ia mendengar si salah sambung menuturkan perihal untuk apa menelepon si
pengkhianat. Cerita yang sangat klise dan tentu saja membosankan. Tapi
dia terus menyimak lantaran merasa mendapat peluang, semacam harapan
yang selama ini tak pernah menghampirinya. Kenyataannya ia tidak salah
duga. Sesudahnya saban malam mereka bertelepon dan berikrar saling
setia.
"Suatu saat aku akan menjemputmu ke Pekanbaru. Aku akan membuat kejutan."
***
DIA
berkemas seraya membayangkan hidung mancung kekasihnya, bibir tipis,
rambut ikal, tubuh padat, dan kulit kecokelatan. "Apa yang akan kamu
lakukan jika aku datang?" begitu ia kerap bertanya pada kekasihnya.
"Memeluk
dan mengecupmu, membelaimu..." kekasihnya menyahut dengan suara begitu
syahdu dan menggemaskan. Lantas disambung dengan kata-kata yang
mengekspresikan kekaguman yang memabukkan, memuji bentuk dahinya yang
tinggi, bibirnya yang seksi, serta daun telinganya yang lebar. Ia
sempat terheran-heran bagaimana bisa dia memuji seperti itu hanya
berdasarkan penuturan.
"Daun
telinga yang lebar pertanda pintar," kata kekasihnya. Seperti biasa, ia
lalu berjingkat menghampiri cermin. Menatap tampangnya, dan
tersenyum-senyum sendiri. Benarkah aku tampan, bisiknya.
Hari-harinya
yang suntuk dengan tugas menyusun paket proposal penawaran iklan,
bertemu dan merayu klien demi mengejar target, berubah jadi penuh
gairah. Bisikan-bisikan syahdu penuh bujuk rayu kekasihnya tak ubahnya
darah segar yang menjalar di urat nadinya. Memberinya tenaga untuk
meninggalkan kebiasaan nongkrong berlama-lama di kedai kopi
sekadar untuk membuang sepi dengan mencuri-curi pandang pada
pasangan-pasangan yang berseliweran keluar dan masuk mal. Sebuah
kegiatan yang pada kenyataannya justru membuat ia makin dilanda sepi.
"Akulah
tulang rusukmu." Kata-kata itu membuatnya tersenyum lagi, sedikit geli.
Sejujurnya ia bukanlah seseorang yang menyukai hal-hal yang romantis.
Hal itu dianggapnya terlalu bertele-tele. Ia lebih mempercayai yang
praktis-praktis. Rekan-rekan kantornya menyebutnya si pragmatis. Tapi,
kini ia mulai berpikir untuk tak ada salahnya sesekali menjadi sedikit
romantis.
Ia
melihat jam digital di layar ponselnya. Pukul 02.55. Dicarinya lagi
nama kekasihnya di daftar nama. Tapi lagi-lagi ia ragu. Ia ingin
membuat kejutan. Tapi kejutan apa lagi? Ia ragu ada orang lain di rumah
kekasihnya meskipun sudah dijelaskan berulangkali bahwa kekasihnya
tinggal seorang diri. Siapa pun dia pasti akan mengganggu pertama yang
mendebarkan.
Ia
berpikir untuk berbalik keluar ke jalan besar untuk mencari penginapan.
Mungkin akan lebih mengesankan jika pertemuan berlangsung di sebuah
kafe yang tidak terlalu ramai di pinggiran kota. Mungkin ia akan
bangkit berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan kedua tangan
direntangkan. Memeluknya, memesankan minum, dan menumpahkan perasaannya
sesuai rencana.
Ah, ini
sungguh bertele-tele, ia menyergah gagasannya sendiri. Diambilnya
ponsel, mencari nomor kekasihnya, lantas menekannya. Beberapa menit
kekasihnya tak mengangkat panggilannya. Diulangi sampai beberapa kali,
tetap sama. Tentu saja ini di luar kebiasaan. Kekasihnya biasanya
selalu siap sedia menerima telepon darinya. Ia memutuskan untuk memijit
bel di sudut pagar di dekat tiang.
***
DI dalam
taksi yang baru keluar dari Bandara Soekarno-Hatta, seorang perempuan
tampak memucat wajahnya. Ia meminta sopir menghentikan taksinya.
"Pak
tolong antarkan saya ke alamat ini. Tapi saya hanya punya jam tangan
ini. Dompet dan semua uang saya hilang di bandara tadi!" katanya suara
logat Melayu Pekanbaru.
Relung Malam Pondok Pinang, 08 Juli 2011.
Pagar
Cerpen Aris Kurniawan
IA
sampai di depan pintu pagar rumah kekasihnya. Sekuntum bunga kering
melayang jatuh tepat di ujung sepatunya. Sunyi mengisi jalanan. Cahaya
lampu memendar redup, tak mampu menyentuh kerikil di permukaan jalan.
Gerumbul dedaun pohon mangga dari rumah sebelah menelan bayangan
tubuhnya yang canggung mencoba menepis ragu. Dia meraba ponsel yang
mendekam damai di kantong celana jins ketatnya. Merogohnya perlahan.
Menyusuri nama-nama di daftar teman yang tersimpan dalam ponselnya. Ada
lebih dari lima ratus nama. Nama kekasihnya yang berhuruf depan M ada
di urutan ke seratus.
Ketika
nama itu muncul, ia hanya memandangi rangkaian huruf-huruf yang
membentuk nama kekasihnya seraya menyunggingkan senyum, tapi ragu untuk
menekannya. Mendesah pelan, ia mengambil sebatang rokok dari kantong
jaketnya. Sambil menghembuskan asap rokok dari rongga mulutnya ia
mendesah lirih, inikah saatnya...
Sudah
lama sekali ia memendam gelora hasratnya. Kadang merasa harus
meraung-raung demi meredam gejolak dalam tubuhnya yang ia tahu persis
tak mungkin tidak dimuntahkan. Ia kerap terbangun tengah malam. Keluar
dari kamar lantaran takut melihat pantulan wajahnya di cermin, wajah
yang pasti terlihat kusut masai bagai kertas diremat-remat. Duduk di
kursi goyang kesayangannya di ruang tengah, menekan-nekan nomor telepon
sekenannya. Sekali dua kali ada yang mengangkat, lantas didengarnya
orang menggerutu, bahkan maki-maki.
Usianya
telah menginjak 42. Tapi seperti baru terlahir 12 tahun lalu dalam
urusan asmara, sehingga harus bertanya pada Joe, keponakannya, yang
baru kelas satu SMA. Sialnya Joe malah meledeknya kalau ia tak
memberinya uang.
"Om pacaran saja sama Tante Jum," kata Joe, "Dia penggemar tanaman, juga kaya, Om." Kalau sudah begitu ia jadi langsung ilfeel
pada keponakannya itu. Tante Jum, tetangganya, perempuan lajang
seusianya yang pernah menetak kepala seekor kucing sampai pecah hanya
lantaran si kucing mematahkan ranting tanaman piaraannya. Pacaran
dengan wanita itu? Membayangkannya saja ia bergidik.
Sejurus
matanya yang letih menyorot pintu rumah itu, seperti ingin menembus.
Tapi mendadak gugup melandanya lagi. Apa kira-kira yang bakal
dilakukannya kalau nanti bertemu.
"Pertama-tama tentu Om harus memberikan senyum paling manis buat dia." Ia ingat saran keponakannya.
Ia telah
melintasi sejumlah provinsi, menyeberangi Selat Sunda, untuk sampai di
depan pintu pagar rumah kekasihnya. Ia menyeka wajahnya dengan tisu
basah. Tapi itu tak membuatnya cukup merasa segar. Karena keringat yang
mengucur dari pori kulitnya sejak di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang
belum dibasuh meninggalkan lengket dan rasa tak nyaman di sekujur badan.
Sepenggal
bulan menggantung di ujung langit yang bersih. Angin merayap
perlahan-lahan meraba tengkuknya. Suara kendaraan dari jalan besar
terdengar sayup-sayup. Tadi ia menyuruh sopir taksi menurunkannya di
ujung jalan kompleks perumahan ini. Ia memilih meneruskan dengan
berjalan kaki. Ia khawatir suara kendaraan itu mengganggu rencananya
membuat kejutan. Tidak terlalu sulit mencari rumah kekasihnya di kota
kecil ini. Apalagi kekasihnya telah menuliskan alamat secara sangat
perinci. Terbukti, hanya butuh 15 menit ia telah berdiri di depan
alamat yang dituju.
Disapukan
pandanganya ke rumah kekasihnya yang tampak tengah menunggu seseorang
datang mengetuk pintu. Rumah itu persis dengan yang dideskripsikan
kekasihnya. Rumah model zaman dulu yang memiliki dinding bagian depan
tinggi berbentuk huruf V terbalik, dihiasi ornamen yang membentuk huruf
M. Temboknya bercat ungu, di teras yang membentuk huruf L dengan
atapnya disangga tiang tiang besi kecil dan ramping, terdapat sepasang
kursi rotan. Tembok setinggi satu meter memisahkan teras dengan
halaman. Pohon belimbing dan jeruk bali, masing-masing berdiri di pojok
halaman sebelah kanan dan kiri, digelantungi pot-pot gerabah berisi
aneka bunga-bungaan yang menjuntai ke bawah. Keset sabut kelapa
bergambar hati di depan pintu masuk. Dan tentu saja nomor 69 di pagar
teralis warna perak yang berjarak beberapa senti dari tempat ia
sekarang berdiri.
Kekasihnya
acap menjelaskan, di kursi rotan itu dia duduk menghabiskan waktu senja
seraya memandangi tanaman yang dirawatnya sepenuh cinta. Tak heran bila
mereka pun tumbuh subur dan selalu siap memberi keteduhan yang
diperlukan penghuni rumah. "Duduk di situ sampai gelap turun dan
menyalakan lampu-lampu," ujar kekasihnya.
Sangat
mudah baginya menekan bel yang terdapat di pojok dekat tiang lampu.
Namun, ia merasa bukan sekarang saat yang tepat memberi kejutan. Dari
balik jendela berbentuk persegi panjang ia melihat lampu di ruang
tengah masih menyala. Ia juga menangkap pendar sinar dari pesawat
televisi. Mungkin kekasihnya tengah menonton televisi. Acara apa yang
ditonton dini hari begini?
"Dipeluk
olehmu pasti sedap rasanya di malam berhujan begini," begitu kekasihnya
kerap berbisik, dikirimkan gelombang elektromagnetik ke telinganya,
malam-malam. Ia hanya tertawa ngakak. Ia sendiri ragu apa makna
tawa seperti itu. Gembira, heran, cemas, atau takut. Atau mungkin
seluruh perasaan itu berbaur sempruna menciptakan sensasi yang aneh
dalam benaknya.
Ia
teringat muasal hubungannya dengan kekasihnya. Lalu ia akan merasa
terheran-heran bagaimana sebuah kejadian salah sambung dapat berlanjut
menjadi sebuah hubungan kekasih. Sementara dengan orang yang saban hari
bertemu, di bawah satu atap dan lantai yang sama, begitu asing dan
jauh. Ia tengah gelisah, bersiap tidur setelah bosan menonton teve yang acaranya begitu-begitu saja. Menjengkelkan dan tidak kreatif.
"Fred," ujar telepon salah sambung itu, dengan intonasi yang menyentak.
"Fred? Anda siapa? Salah sambung!" sahutnya.
Ia hampir saja menutup percakapan yang menjengkelkan itu ketika mendadak ia seperti pernah akrab dengan suara itu.
"Oh maaf, jadi saya salah sambung ya?"
"Ya Anda salah sambung, saya bukan Fred."
"Tapi di
ponsel saya benar lo ini nomor Fred. Ya sudahlah mungkin operatornya
lagi ruwet. Maaf, kalau begitu saya bicara dengan siapa?"
"Saya Sam di Jakarta."
"Hah, Jakarta. Ya ampun jauh sekali ya."
"Anda di mana?"
"Pekanbaru."
"Oh."
"Kenapa oh? Anda pernah ke Pekanbaru?"
"Belum pernah ke sana. Oya, Fred siapa?" ia bertanya setelah merasa tanggung.
"Untuk apa Anda tahu? Kita tidak saling kenal kan?"
"Baiklah, maaf. Saya tutup telepon ini karena saya telah bicara dengan orang yang tak saya kenal."
"Loh kok marah sih?"
Ia tertawa.
"Kok tertawa?"
Percakapan terhenti sampai di situ. Tampaknya gangguan sinyal. Esoknya ia menerima telepon lagi dari orang yang sama.
"Benar Anda mau tahu tentang Fred?"
"Bukankah saya orang yang tidak Anda kenal?"
"Sekarang saya sudah kenal. Bukankah kemarin Anda sudah menyebutkan nama?"
Ia tertawa.
"Mau tahu tidak?"
"Apakah itu penting buat saya?"
"Baiklah. Saya tutup telepon ini. Terima kasih."
Ia
tengah menghadapi banyak persoalan di kantor. Ia merasa tertekan
lantaran beberapa bulan ini selalu gagal memenuhi target. Terlalu
banyak intrik. Rekan-rekannya di kantor selalu memandangnya sebagai
pesaing yang siap melemparkan mereka keluar. Dia sungguh butuh teman
untuk mengobrol. Ia merasa telepon salah sambung itu menjadi teman ngobrol yang sedikit menolongnya dari suntuk. Maka, setelah tiga hari menahan diri, akhirnya ia menghubungi nomor si salah sambung.
"Fred kekasihmu?"
"Bukan lagi. Dia pengkhianat."
"Terus untuk apa kamu mau menghubungi dia?" Tanpa sadar ia mengganti "anda" dengan "kamu".
"Apakah itu penting buatmu? Kalau memang penting buatmu, baiklah saya ceritakan."
Lantas
ia mendengar si salah sambung menuturkan perihal untuk apa menelepon si
pengkhianat. Cerita yang sangat klise dan tentu saja membosankan. Tapi
dia terus menyimak lantaran merasa mendapat peluang, semacam harapan
yang selama ini tak pernah menghampirinya. Kenyataannya ia tidak salah
duga. Sesudahnya saban malam mereka bertelepon dan berikrar saling
setia.
"Suatu saat aku akan menjemputmu ke Pekanbaru. Aku akan membuat kejutan."
***
DIA
berkemas seraya membayangkan hidung mancung kekasihnya, bibir tipis,
rambut ikal, tubuh padat, dan kulit kecokelatan. "Apa yang akan kamu
lakukan jika aku datang?" begitu ia kerap bertanya pada kekasihnya.
"Memeluk
dan mengecupmu, membelaimu..." kekasihnya menyahut dengan suara begitu
syahdu dan menggemaskan. Lantas disambung dengan kata-kata yang
mengekspresikan kekaguman yang memabukkan, memuji bentuk dahinya yang
tinggi, bibirnya yang seksi, serta daun telinganya yang lebar. Ia
sempat terheran-heran bagaimana bisa dia memuji seperti itu hanya
berdasarkan penuturan.
"Daun
telinga yang lebar pertanda pintar," kata kekasihnya. Seperti biasa, ia
lalu berjingkat menghampiri cermin. Menatap tampangnya, dan
tersenyum-senyum sendiri. Benarkah aku tampan, bisiknya.
Hari-harinya
yang suntuk dengan tugas menyusun paket proposal penawaran iklan,
bertemu dan merayu klien demi mengejar target, berubah jadi penuh
gairah. Bisikan-bisikan syahdu penuh bujuk rayu kekasihnya tak ubahnya
darah segar yang menjalar di urat nadinya. Memberinya tenaga untuk
meninggalkan kebiasaan nongkrong berlama-lama di kedai kopi
sekadar untuk membuang sepi dengan mencuri-curi pandang pada
pasangan-pasangan yang berseliweran keluar dan masuk mal. Sebuah
kegiatan yang pada kenyataannya justru membuat ia makin dilanda sepi.
"Akulah
tulang rusukmu." Kata-kata itu membuatnya tersenyum lagi, sedikit geli.
Sejujurnya ia bukanlah seseorang yang menyukai hal-hal yang romantis.
Hal itu dianggapnya terlalu bertele-tele. Ia lebih mempercayai yang
praktis-praktis. Rekan-rekan kantornya menyebutnya si pragmatis. Tapi,
kini ia mulai berpikir untuk tak ada salahnya sesekali menjadi sedikit
romantis.
Ia
melihat jam digital di layar ponselnya. Pukul 02.55. Dicarinya lagi
nama kekasihnya di daftar nama. Tapi lagi-lagi ia ragu. Ia ingin
membuat kejutan. Tapi kejutan apa lagi? Ia ragu ada orang lain di rumah
kekasihnya meskipun sudah dijelaskan berulangkali bahwa kekasihnya
tinggal seorang diri. Siapa pun dia pasti akan mengganggu pertama yang
mendebarkan.
Ia
berpikir untuk berbalik keluar ke jalan besar untuk mencari penginapan.
Mungkin akan lebih mengesankan jika pertemuan berlangsung di sebuah
kafe yang tidak terlalu ramai di pinggiran kota. Mungkin ia akan
bangkit berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan kedua tangan
direntangkan. Memeluknya, memesankan minum, dan menumpahkan perasaannya
sesuai rencana.
Ah, ini
sungguh bertele-tele, ia menyergah gagasannya sendiri. Diambilnya
ponsel, mencari nomor kekasihnya, lantas menekannya. Beberapa menit
kekasihnya tak mengangkat panggilannya. Diulangi sampai beberapa kali,
tetap sama. Tentu saja ini di luar kebiasaan. Kekasihnya biasanya
selalu siap sedia menerima telepon darinya. Ia memutuskan untuk memijit
bel di sudut pagar di dekat tiang.
***
DI dalam
taksi yang baru keluar dari Bandara Soekarno-Hatta, seorang perempuan
tampak memucat wajahnya. Ia meminta sopir menghentikan taksinya.
"Pak
tolong antarkan saya ke alamat ini. Tapi saya hanya punya jam tangan
ini. Dompet dan semua uang saya hilang di bandara tadi!" katanya suara
logat Melayu Pekanbaru.
Relung Malam Pondok Pinang, 08 Juli 2011.
|