Cerpen Miftah Fadhli
LampungPost, Sabtu, 23 July 2011 23:33
"COBA
lihat di sana." Tunjuk lelaki itu; telunjuknya menuding langit
berbentuk gerombolan domba, kecil-kecil, manakala sekawanan burung
melintas dia lebih sumringah dari sebelumnya.
Si gadis
kecil, yang masih berumur tujuh tahun duduk di pangkuannya dan
menyandarkan kepalanya di dada si lelaki. Ia mengikuti arah telunjuk
dan melihat langit seperti bola-bola kecil, bukan domba-domba kecil
sebagaimana yang dilihat si lelaki. Ia memakai pita merah muda di
kepalanya yang dililit melingkar seperti bando, ujungnya dihempas
semilir angin, berayun-ayun seperti rumput laut.
Sekarang
si gadis kecil merasa ingin meloncat saja dari pangkuan pamannya.
Namun, ia merasa tangan kiri pamannya menahan pahanya dengan erat
sehingga ia sulit untuk berdiri. Ia tahu pamannya sedang tidak enak
hati saat ini. Dadanya berdetak terus, terasa di kepalanya yang
menyandar itu. Sementara ia hanya mampu membuktikan ketidak-enakan
hatinya dengan memain-mainkan jari dan berwajah murung. Ia memakai baju
terusan berwarna hitam dengan selendang hitam melilit lehernya. Tadi
selendang itu menutupi separuh kepalanya; pita merah muda itu kelihatan
sangat menyolok di antara lautan hitam pakaiannya.
"Aku lapar, Paman," ucap gadis kecil itu.
Sang
paman menurunkan tangannya dan mengelus rambut Si Gadis Kecil.
"Sebentar lagi kita pulang, Sayang." Lalu menengadahkan kepalanya ke
langit. Sekawanan burung lagi-lagi melintas, berwarna hitam, seperti
noktah yang digerakkan waktu sementara langit di ufuk semakin terang
warnanya. Dia tak dapat melihat pemandangan apa pun di tempat ini
karena semuanya tertutupi pohon kemboja dan kenanga yang tumbuh tinggi.
Puring juga tumbuh di mana-mana.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Aku tujuh tahun, Paman. Tidak enak dipangku terus."
Sebenarnya lelaki itu ingin memberitahu keponakannya bahwa langit
begitu indah hari ini. Bentuknya selalu berubah-ubah. Terakhir langit
di hadapannya seperti pasir di tepi pantai, setelah lama berdiam diri
seperti
gerombolan
domba—di pikiran lelaki itu. Bentuknya seperti habis diterjang ombak.
Ada beberapa garis tidak menentu, kadang sebenarnya, terlihat seperti
benang yang serabutan, tapi garisnya sangat panjang dan memang terlihat
mirip seperti pasir sehabis disapu ombak.
Akan
tetapi keponakannya tampaknya tidak terlalu memberikan perhatian lebih.
Si Gadis Kecil itu lebih sering melihat ke bawah. Ke arah iring-iringan
semut yang menggotong remah-remah kayu dan dedaunan. Berbaris di tepi
keramik, panjang, mengarah ke sebuah lubang yang letaknya sangat jauh
dari tempat mereka memulai. Semut merah, mirip semut rangrang, tapi
semut rangrang seharusnya ada di tangkai-tangkai pohon. Jadi, pikir
lelaki itu, mereka bukan semut rangrang. Namun semut adalah semut.
Perilaku mereka membuat orang kagum; membuat keponakannya lebih suka
memerhatikan mereka ketimbang dia dan pikiran tentang langit. Pikirnya,
di tempat seperti ini memang lumrah ditemui banyak semut. Hampir di
setiap sudut ada semut bergotong-royong, mencari makan, membuat sarang,
atau ramai-ramai mengerubungi objek benda tertentu; tapi kelakuan
mereka masih membuat orang tertarik—dan itu membuat dia agak kesal,
tapi juga tenang. Maka dia sedikit menyunggingkan senyum melihat wajah
keponakannya. Mengelus-elus rambutnya yang panjang dan wangi.
"Ah, Paman," Si Gadis Kecil menggeleng, "Aku ingin dibelikan makanan saja."
"Kita belum boleh ke mana-mana, Sayang."
"Kenapa?"
"Kita harus menunggu orang-orang pulang dulu. Menghormati mereka."
"Siapa mereka?"
"Mereka...
tamu...," lelaki itu mengatupkan bibirnya. Dadanya kembang-kempis
menghembuskan napas yang pendek-pendek. Bau bunga kenanga terhirup
masuk bersama udara, sangat tajam, sehingga dia merasa agak pusing dan
kembali biasa setelah beberapa saat. Angin meniup tengkuknya sehingga
dia merasa agak merinding dan hangat; matanya tiba-tiba memerah dan
bibirnya juga merah sebelum telinganya menyusul berwarna merah. Dia
mengambil saputangan di saku kemejanya dan mengelap wajahnya. Kemeja
berwarna hitam memiliki kemampuan menyerap panas sehingga udara akan
tersimpan pada benang-benangnya dan menguap ke seluruh tubuh membuatnya
merasa gerah; dia
berkeringat
pada dahi dan cuping hidung. Namun air pada matanya diragukan apakah
itu keringat atau berarti sesuatu. Bagaimanapun, lelaki itu tidak
berusaha mencari tahu. Ketika Si Gadis Kecil itu menoleh kepadanya dia
buru-buru menyelesaikannya dan menyurukkan saputangan ke saku
kemejanya. Lalu dia buru-buru tersenyum.
"Boleh aku melihat orang-orang itu?"
Si paman
buru-buru menghalang-halangi si gadis kecil. Badannya cukup besar, dan
dadanya bidang. Hal itu menghalangi pandangan si gadis kecil untuk
melihat langsung ke belakang. Sebab, kalau terlalu memutar akan membuat
lehernya sakit di kemudian hari. Ia hanya mampu menolehkan kepalanya
sedikit sementara badan yang seharusnya membantunya memperluas jarak
memutar tidak dapat bergerak leluasa karena tangan si paman terlalu
mengekangnya. Ia tidak bebas melakukan apa pun yang ia mau. Selain itu,
sudah sejam lebih ia berada di tempat ini bersama pamannya.
"Kamu pernah ke gunung, Sayang?"
"Ayah pernah mengajakku ke gunung, tapi sampai sekarang aku belum pernah ke gunung."
"Aku pernah ke Sibolangit."
"Itu bukan gunung, Paman."
Si paman terkekeh. "Ya, kamu betul. Tapi mirip gunung. Aku dan ayahmu berkemah berdua di tempat itu setelah kakekmu memaksa."
"Kenapa kakek memaksa, Paman?"
Pada
kenyataannya dia dan ayah si gadis kecil adalah saudara kembar. Ayah
mereka menyuruh keduanya untuk pergi ke bumi perkemahan agar belajar
mandiri setelah selama ini mendapat pelayanan maksimal dari ibunya dan
pembantunya. Tidak satu lelaki pun bisa disebut lelaki apabila mereka
belum pernah menaklukkan apa pun yang menjadi ketakutannya, ucap si
paman meniru ayahnya. Dan, saudara kembar itu memang dipaksa untuk
menaklukkan ketakutannya dengan berangkat menuju Bumi Perkemahan
Sibolangit dan mendirikan kemah di sana.
Si
lelaki tahu bahwa dia dan saudara kembarnya belum pernah belajar
mengenai tenda dan sejenisnya sebelumnya. Pengetahuan mengenai simpul
dia dapatkan di pramuka saat SD dan sudah tentu dia lupa 80 persen
materi pelajarannya karena tidak pernah mengikutinya dengan
sungguh-sungguh. Saat jambore tingkat sekolah dasar, dia menolak ikut
karena alasan yang dibuat-buat; tak beda jauh dengan
saudara
kembarnya yang ikut pasukan pengibar bendera sekolah, dia tidak pernah
ikut "pasukannya" saat kegiatan itu berlangsung di luar dan harus
bersusah-susah mendirikan tenda atau bertahan hidup seadanya.
"Jadi kalian sangat manja?"
"Ya, kami terlalu manja."
Ketakutan
terbesar saudara kembar itu adalah hidup sendirian tanpa ditemani oleh
siapa pun karena kalau begitu, mereka harus melakukan semuanya
sendirian demi mempertahankan hidup. Mereka telah diberi bekal
alat-alat kemah yang lengkap dan rute menuju Sibolangit menggunakan bis
umum. Setibanya di sana, keduanya kocar-kacir karena tak satu pun dari
alat-alat yang mereka bawa tahu namanya. Mereka hanya tahu tenda dan
tali tambang dan memasangnya lebih dulu. Setelah melalui proses yang
rumit mendirikan tenda yang sempurna mereka harus membuat api unggun
yang artinya mereka harus mengumpulkan kayu bakar.
"Di sana dilarang memotong pohon."
Jadi mereka mencari dahan-dahan pohon jatuh dengan susah payah lalu mengangkutnya dengan lebih payah ke perkemahan.
Mereka
di Sibolangit hanya untuk tiga hari. Akan tetapi, perjuangan untuk
mempertahankan diri selama itu lebih sulit dari yang mereka bayangkan
sebelumnya. Mereka pikir bisa meminta bantuan dari orang-orang yang
tinggal di sekitar perkemahan.
"Ternyata mereka lebih dingin dari sekotak es batu sekalipun."
"Jadi kalian benar-benar melewati tiga hari itu sendirian, Paman?"
"Ya, dan Rudi membuatku jengkel selama tiga hari itu."
"Kenapa ayahku?"
"Dia
selalu merengek minta pulang. Kamu tahu, setiap malam kami mendengar
suara aneh dan Rudi paling sering menangis di antara kami."
Tenggorokannya terasa hangat setelah itu; dia tidak yakin setelah ini
akan berbicara dengan lancar.
"Benarkah? Tapi ayah selalu melarang aku menangis."
"Ya, benar...," dia tercekat, matanya merah.
"Kenapa, Paman?"
"Tidak apa-apa."
"Bagaimana kelanjutannya, Paman?"
"Kami melewati tiga hari itu. Dan kami mulai belajar."
Si gadis
kecil merasa gerah. Tiba-tiba mukanya memerah. Pita merah muda di
rambutnya masih berayun-ayun dihempas angin, seperti rumput laut. Ia
teringat ayah dan ibunya. Tiba-tiba ia merasa setiap hari akan sangat
sunyi. Ia merasa ketakutan terbesar dalam hidupnya menunggunya di depan
pintu dan menyambutnya dengan kesedihan. Ia ingin menangis saat itu
juga akan tetapi pamannya tiba-tiba berteriak dan menuding langit.
"Jarang-jarang ada burung sebesar itu!"
"Itu hanya seekor elang, Paman."
"Oh, ya, aku tahu."
Ia tidak
pernah berada di tempat ini sebelumnya. Saat neneknya meninggal, ia
masih berada dalam kandungan. Itu tidak berarti ia benar-benar pernah
berada di tempat ini sebelumnya. Ia bahkan belum pernah membayangkan
bagaimana bentuk liang lahat itu. Sekarang barulah ia tahu bagaimana
wujud sebenarnya tempat yang dikelilingi batu-batu nisan dan
pohon-pohon yang tumbuh sendiri-sendiri. Sepi. Cenderung aneh. Semua
orang hikmat. Doa-doa dilantunkan dan ia sama sekali tidak dapat
melihat orang-orang yang sedang berdoa. Badan pamannya terlalu besar
untuk ditembus.
Sekarang
ia merasa kepalanya benar-benar hangat. Telinganya juga hangat seperti
seseorang sedang bernapas di dekatnya. Sekalipun ia ingin tidak
memedulikan perasaan itu, tetap saja seperti ada seseorang bernapas di
telinganya atau di depan wajahnya. Ujung baju ia tarik-tarik sedemikian
rupa. Tiba-tiba rasa kehilangan itu muncul begitu saja dalam kepalanya.
Rasanya seperti habis memecahkan vas bunga milik ibunya.
"Paman, kapan kita pulang? Aku sudah lapar."
Lelaki
itu tidak menjawab. Wajahnya benar-benar merah dan matanya lembab.
Namun bagaimanapun, si gadis kecil tak mampu melihat wajah lelaki itu.
Dia sengaja mengencangkan pelukannya agar ia tak bebas bergerak.
Sekawanan
burung lagi-lagi melintas. Di gadis kecil tengadah memerhatikan kawanan
burung seperti sekumpulan noktah yang digerakkan oleh waktu. Ia tak
tahu sudah berapa lama ia berada di sini. Langit di kejauhan sudah
memerah. Beberapa orang yang tiba-tiba muncul dari balik punggungnya
mengucapkan beberapa kalimat kepadanya dan pamannya, lalu tak
kelihatan. Terus begitu. Sampai ia benar-benar merasa sesuatu
mengganjal di hatinya.
"Berikan senyum terbaikmu, Sayang."
"Kapan kita akan pulang, Paman?"
"Sudah berapa lama kamu tidak mengunjungi paman dan bibi?"
Si Gadis Kecil menggeleng.
"Setelah semua selesai, kamu harus ke rumah paman dan bibi, ya?"
"Kenapa, Paman?"
"Di sana banyak makanan. Kamu bisa memakan semuanya sampai puas."