Ziarah Botol |
Sabtu, 06 August 2011 23:22 |
Cerpen Tandi Skober
"Namaku
Gusur. Emak bilang, sebenarnya sih pas lahir namaku Adhikarya.
Disebabkan rumah emak dalam satu tahun digusur Pemda DKI lebih dari 13
kali, maka agar tidak gusar setiap kali ada operasi penggusuran
kemiskinan, namaku diganti menjadi Gusur," ucap Gusur Adhikarya. "Itu
ceritaku, bagaimana ceritamu, Stad?"
"Saya tidak punya cerita, Bos. Maklum sebagai office boy, cerita saya sudah banyak diceritain orang."
Gusur tertawa. Tentu saja tertawa terkekeh-kekeh. Sebagai bos memang kudu bisa tertawa terkekeh-kekeh, bila kagak bisa begitu, yah
cuma pekerja biasa. Terlebih lagi Gusur adalah konglomerat di pusaran
penerbitan media cetak. Konon, 12 dari 10 penerbitan majalah di
republik Pancasila dipastikan dikelola Gusur. Disebabkan hal itulah,
setiap kali tertawa, Gusur memiliki alur waktu tidak kurang dari dua
menit. Tapi kali ini dipastikan alur waktu tawa Gusur lebih dari 5
menit. Tidak hanya itu, Gusur tidak hanya terkekeh-kekeh, juga berair
mata, bahkan diperkirakan tertawa terkencing-kencing.
"Saya rindu emak," mendadak tawa Gusur berhenti. Matanya nyanyikan
rindu hingga titik terjauh. Jemarinya melukis sepi pada permukaan air
akuarium. "Ceritaku itu tidak harus ditulis sekarang. Stad bisa tulis
nanti setelah kita ziarah kubur."
"Ziarah kubur?" agak ternganga mulutku.
Gusur
mengangguk. Malam merangkak di beranda. Bulan bergulir di tenggorokan.
Dan? Gusur alirkan kalimat aneh, "Inilah lukisan terbaik Ramadan 1432
H. Burung-burung berkicau, ikan, kura-kura berseliweran. Dalam kolam,
anak-anak bercanda dan menangis. Marmut, ayam, tupai, istri, mereka
bercumbu dengan rempah-rempah di dapur. Dalam sangkar merpati bertelur,
dalam hati keikhlasan bertutur."
Saya tepuk tangan. "Ckckck, arif banget, Bos! Dalam sangkar merpati bertelur, dalam hati keikhlasan bertutur. Sungguh aku ikhlas jadi office boy dalam sanggar majalah Hehehe, Bos. Ga nyesel."
Gusur
tersenyum. Senyum itu sudah tiga Ramadan saya nikmati. "Senyum
bertasbih puisi," komentar Kiara. Senyum itulah yang membuat Erin dan
Taufan meyakini majalah Hehehe akan menjadi ikon anekdot terbaik se-Asia Pasifik.
"Senyumku
itu lukisan putih di atas kertas tanpa warna yang tergantung di ujung
tiang bendera yang melengkung," ucap Gusur seraya membaca print out cerpen Nazar dalam Sepotong Roti karya Tandi Skober yang bakal terbit di edisi khusus saat Pemilu 2014.
Kalimat
itu juga diucap ulang di ruang Peugeot 504. Roda mobil melaju deras,
ziarah kubur ke Indramayu. "Ziarah adalah bersih-bersih album potret
berdebu," ucap Gusur seraya mengelus satu botol besar minuman ringan
yang dibeli seharga sebelas ribu rupiah di mini market samping kantor Hehehe. "Album itu, satu kali dalam satu tahun kudu dibersihkan."
Ada apa dengan botol itu, Gus? Gusur diam. Angkat bahu. Dan go! Peugeot melaju kencang. Saya tak banyak tanya soal botol itu. Sebenarnya pingin sih aku minum barang satu dua teguk itu. Tapi, selalu saja Gusur memeluk botol itu, erat-erat.
Senja
menyelinap di daun kamboja ketika langkah kami menapaki perkuburan
kumuh. Kian mendekati kuburan emaknya, terlihat langkah Gusur kian
melemah. Tangannya masih memeluk botol itu. Matanya merayapi kuburan
emaknya. Anak-anak kecil meminta botol minuman ringan berharga mahal
itu. Ia tersenyum. Ia keluarkan dompet. Beberapa lembar uang puluhan
ribu ia berikan ke anak-anak itu.
Kini
Gusur sudah pun duduk bersimpuh di depan gundukan kuburan emaknya.
Tutup botol minuman berlabel mahal itu ia buka. Ia tumpahkan isi botol
itu ke gundukan kuburan emaknya. "Mak, Gusur datang. Gusur membawa satu
botol minuman ringan. Gusur siram dengan air botol minuman ini ya Mak?
Gusur sayang sama Emak. Bagi Gusur, Emak adalah Kakbah yang setiap saat
Gusur rindu untuk menghadap Emak."
***
Ada apa dengan botol bermerek paling laku di dunia ini? Lagi-lagi sulit ditemukan jawabannya. Biasanya orang nyekar yah nyiramnya pakek air biasa, air bening. Ini jadi kepikiran.
Tiap kali aku tanyakan ke Gusur. Bos hanya diam. Matanya menerawang ke
sudut ruang. Di sana ada banyak botol minuman ringan dengan berbagai
merek berjajar di atas buffet di bawah foto hitam putih emaknya itu.
Ada apa dengan botol-botol beraneka rasa itu? Erin menunduk. Ia terus menerus membaca selembar kertas print out.
Aku ambil kertas itu. Aku baca. Ah! Ini bukan cerpen! Ini bukan fiksi!
Aku baca tulisan itu, "Gusur diam! Diam-diam angannya berlari jauh ke
belakang. Saat itu Gusur masih berusia 4 tahun. Gusur paling suka
bangun sebelum subuh. Kenapa? Ia akan berlari ke atas jembatan. Duduk
di buk beton jembatan kecil. Menunggu emaknya pulang kerja. Sambil
menunggu, Gusur kadang terkantuk-kantuk. Tapi tetap ditahannya agar
tidak tertidur. Sebab, Gusur tahu betul emaknya akan membawa satu
plastik minuman berikut sedotannya. Tiap kali emaknya sodorkan plastik
itu, mata Gusur berbinar-binar memandangi minuman dalam plastik itu.
Tiap kali menyedot air dalam plastik itu, ia rasakan seperti ada
rembulan mengalir di tenggorokan."
"Ini tulisan, Bos?" tanyaku.
Erin mengangguk. Kembali aku baca lagi, "Emak emang selalu kumpulin sisa air minuman itu dari botol-botol yang masih tersisa. Orang kaya itu kalau minum tidak pernah dihabisin. Hmm, aku pernah tanya sama emak 'Minuman apa saja yang bisa dikumpulin,
Mak?’ Emak akan menjawab 'Ada Coca-Cola, ada teh botol, Pepsi, Fanta,
ada Sprit, yah macam-macam lah. Daripada terbuang, yah emak tuang dalam
plastik. Bisa dibawa ke rumah. Iya kan? Kamu suka minuman mahal ini kan
Gusur?'"
Aku hela napas panjang. Aku ngerti.
Aku memaklumi mengapa Gusur sirami kuburan emaknya dengan satu botol
minuman ringan berharga mahal itu. Aku baca kembali tulisan bosku, "Ah,
senangnya aku. Aku selalu mantuk-mantuk sambil menyedoti
minuman itu. Pasti ini minuman orang kaya ya, Mak? Emak menjawab 'Iya,
harganya saja mahal.' Aku tersenyum. 'Kerja Emak apa sih?' Hmm emak
menjawab 'Sekarang masih jadi tukang cuci di warteg Kali Asat."
Sesaat
aku terhenyak. Ada lintasan nestapa di ujung mataku. Tapi aku baca lagi
tulisan bosku ini: "Gusur kecil manggut-manggut. Gusur sedot minuman
dalam plastik yang rasanya bisa bermacam ragam. Ada rasa Sprit, ada
rasa teh botol, ada rasa Coca-Cola. Dan entah apalagi. Sekali tempo,
Gusur pernah nemani emaknya kerja. Oh, anak kecil itu senang
bukan kepalang. Tiap kali disuruh emaknya mengambili botol, Gusur
langsung lari. Langsung ambil botol-botol itu. Botol digoyang-goyang.
Tiap kali isi botol masih ada, mata Gusur kecil pun berbinar-binar.
"Mak, yang ini masih banyakan!" teriak Gusur. Sang Emak
tersenyum. Ia elusi kepala anaknya itu. Ah! Elusan surga yang
kelembutannya masih terasa hingga kini."
"Inspiring!" ucapku.
"Layak dimuat," sambung Erin.
"Hal yang sulit tentu seputar berapa harus kita bayar honorarium cerita bos itu," potong Taufan.
"Itu
bukan konsumsi untuk umum," mendadak sontak Gusur Adhikarya menepuk
bahuku, "Biarkan cerita itu tetap tersimpan di sebuah kamar sangat
spesial di kalbuku. Kamar itu tiap kali Ramadan akan datang selalu saya
buka. Saya ziarahi. Saya yakini bahwa emak masih tetap hidup. Emak
masih tetap membawa satu plastik minuman aneka rasa."
Gusur
menghela napas. Ia pandangi dinding ruang redaksi. Di sana ada lukisan
berukuran 1 x 1,5 meter. Itu lukisan Gusur Adhikarya. Tak jelas apa
yang dilukis Gusur. Yang saya ketahui ekspresi botol-botol minuman
dalam lanskap warna pucat nestapa yang pedih.
Azan isya terdengar. Bos menghampiriku, "Yuk tarawih," ajak bos. Aku mengangguk. Ada dering di ponsel Gusur. Ia pijit yes.
"Oh ya, bagus itu. Hmmm, paling tidak dua hingga tiga krat teh botol,
dua krat Coca-Cola. Hmm ok, Fanta, bisa itu. Aqua? Bisa juga. Pokoknya
semua jenis minuman harus dibeli! Kasihkan saja ke takmir Masjid Al
Ikhlas. Apa? Iya Fari Aziza itu takmir masjidnya bukan Putra Gara.
Iyalah tiap hari selama Ramadan 1432 H!
Bandung, 23 Juli 2011 |