Sajak-sajak Kedung Darma Romansha |
Sabtu, 06 August 2011 23:23 |
Hantu Burung-Burung Aku datang ketika malam membunuhmu Aku bawa kabar gerhana Bagi penyair yang rindu bulan. Di malam yang tuli Aku patuki mata serdadu yang tidur Penyair yang berjaga Di pusat-pusat kota Di lubang-lubang sunyi yang sempit Di hatimu yang terjepit. Yogyakarta, 2010 Ladang Menu hari esok membusuk di dadaku Keluar lewat air mata ibu Dan keringat ayah Tumbuhlah, tumbuhlah biji-bijian Di ladang yang dulu ia tanam Di tubuhku. Sanggar Suto, 2009 Di Jalan Pelepasan - Neng Tak ada yang dibicarakan Selain ketakutan dan kecemasan. Jalanan yang sibuk Trotoar yang hibuk Menyimpan kisah kita diam-diam. Bau parfummu masih lekat di kamarku Mengepung sepi yang ribut di kepalaku. Pelan-pelan tubuhmu mengambang Diangkut kenangan Di awal musim dingin Yang menjatuhkan daun-daunnya di tanah kesepianku. Sementara ladang kita becek oleh masa silam Yang bikin kita jadi cengeng dan malas pulang. Mari, istirahatlah sejenak di sini! Di kalbu kita yang sama olengnya. Jogja, 2008 Lelaki yang Duduk di Atap Reruntuhan - Mei, Jogja Setelah mengevakuasi rumah-rumah tanah Dan doa yang terjebak tumpukan kayu-bata Mereka kembali memanggul matahari. Tidur dipeluk angin Dan kutukan dari laut selatan Yang setiap pagi menggedor-gedor tidurnya. Ia hitung jumlah bulan Dalam tumpukan utang. Dan suatu saat nanti Jika hari di mana ia harus mengevakuasi Hati dan pikirannya sendiri. Sanggar Suto, 2006 Lelucon Hujan Hari ini hujannya nakal Anak-anak lari ketakutan. Mereka sembunyi dalam rumah, Kolong jembatan, dan gubuk-gubuk sampah. Kata emak, Kalau hujan lebat dan banyak geledek Jangan berdiam di tanah lapang Mesti berlindung Setidaknya di bawah pohon Sebab bila di tanah lapang Ada setan gundul menguntit dari belakang Lantas petir itu akan menyambarnya. "Menyambar siapa, Mak?" "Setan gundul." "Kenapa saya jadi ikutan kena?" "Karena setan gundul iseng." "Hanya iseng, Mak?" Emak mengangguk dan mengusap kepalaku. Aku senang main hujan-hujanan Tapi kadang aku merasa ketakutan Anginnya mabuk, menyaruki apa saja Aku takut dilabraknya Aku takut setan gundul menguntitku. Nanti bila geledek menyambar Sudah tentu aku kena imbasnya. Mendung kelihatan angkuh dan sombong Tak mau lagi berteman dengan petani Ia bersekongkol dengan hujan Merusak ladang-ladang petani. Akibatnya petani jadi sedih. Angin juga ikutan sombong Ia tak mau lagi bermain denganku Bila aku bersiul, ia sudah tak mau lagi mendengarnya. Dulu lewat siulku aku bisa memanggil angin Lalu menyuruhnya pergi. Sekarang aku jadi tak mengerti Semuanya terlihat mabuk Kalian semua sombong Kalian sudah tak mau lagi berteman denganku Kalian jahat. Tuhan, kenapa semua jahat padaku? Sanggar Suto, 2008 ---------- Kedung Darma Romansha, kelahiran Indramayu, 1984. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY. Bergiat di Sanggar Suto, Rumah Poetika, dan Saturday Acting Club (SAC). Kini menetap di Krapyak Kulon, Yogyakarta. Karya-karyanya termuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Segera terbit novel pertamanya Slindet dalam bentuk digital. |