Kampung Kecubung |
Minggu, 13 November 2011 04:38 |
Cerpen Yulizar Fadli
BULAN
benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak
berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang.
Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan.
Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu
asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka
manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain
Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya
terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh
kampung.
Ada
juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan
pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak
tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik
dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki
Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik
menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan
tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya.
Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras
rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing
yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK
sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon
lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani
dengan segala macam alat pertanian.
Dari
belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan.
Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang
berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam
putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah
tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah
masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan
minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping
parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil
sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka
mungkin mahfum.
Dan, di
kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di
antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari
rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari.
Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu
kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang
berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang
beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat
bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
"Kulonuwon,"
ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena
tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja
kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju
lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis
tergambar di wajahnya.
"Monggo,"
suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. "Ada apa Tik, pagi-pagi
kok sudah kemari?" imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa
nama si tamu.
"Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan," sahut Atik dengan kening dikerutkan.
"Walah-walah,
ayo kalau begitu," setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk
rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan
keriputnya buru-buru mengunci pintu.
"Mana
Suratmi, Mbah?" tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi
pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di
tengah jalan.
"Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat," jawab Mbah datar.
Keduanya
menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru
yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon
rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang
bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir
tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya
tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan
kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh
menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah
yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari
buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu
memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari
mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau
kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
"KOK lama sekali, ya?"
"Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai."
Robayah,
janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang
sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta
sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu
dikelilingi dua pembantu setia.
"Coba
kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia," pinta Robayah
kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si
bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya
dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai
berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda
di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari
sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba
halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan
meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi
tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik
dan Mbah Sobari segera datang.
"Duh Gusti, akhirnya datang juga," sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
"Iya,
Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas," tukas si
Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
"Tolong
ambilkan segelas air putih." Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan
telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah
memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari
mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si
empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, "Sadar,
Le. Kamu kenal aku, toh?"
Mendengar
pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin
memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah
Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga
dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya
setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
"Kamu manusia planet, toh?" jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
"Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?" pertanyaan ditujukam pada Robayah
"Yariman bin Yatman Kasrowi," Robayah menyahut.
Si mbah
kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si
mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan.
Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai
lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna
cokelat yang secokelat kulitnya.
"Cah
bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung," ujar Mbah
Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya
bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat
anaknya tergeletak di teras depan.
"Jadi bagaimana, Mbah?" ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
"Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit," jelas Mbah Sobari
Atas
perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda
jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu.
Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap
berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang
terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung
Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem
beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan
langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang.
Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika
sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang.
Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor,
kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan
beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai
menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan
ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh
kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing,
membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti
setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika
Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar
pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia
membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan
tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok.
Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman
mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari
membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU
pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah
Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat
yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan
dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada
khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati
suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar
utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari
menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan
kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan.
Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis
Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
|