Sajak-sajak Anton Kurniawan |
Jumat, 11 November 2011 05:02 |
Teruslah berceloteh ucapkan selamat datang pada matahari dan biarkan sisa embun merencanakan kematiannya sendiri ayo mengepaklah kibaskan angin di ujung sayapmu dan senandungkan langgam pagi bening yang kerap lembab di mata jalang lelaki sepi Ini kali bersama secangkir rencana di legam kopi di beranda waktu kutunggu gaduh celotehmu celoteh yang tak kunjung aku mengerti jika berkenan ajarilah kami bagaimana mestinya mencintai sebab di tanah ini orang-orang kerap bersiasat juga khianat Semulijaya, 1 April 2011 Pemberontak Masihkah yang patut kucinta Kau bahkan Bukankah setiap kita hanyalah binatang Yang terlampau lihai bermuslihat Lalu masihkah yang layak dipercaya Sedang belati di setiap diri Begitu tegas menjanjikan luka Jadi biarlah aku kekal menjadi banal Bertahan gagah meski dalam parah Kupecah sepi membelah sunyi menyeberangi peristiwa demi peristiwa menebas cadas sepanjang kembara sendiri hingga maut merenggut Tjk—Ktbm, 16 Oktober 2011 Sajak Putus Cinta Dan akhirnya aku pulang ke pangkuan sepi Hanya berteman kenangan Tentang jalan-jalan kota menjelang petang Sepatah senyum saat pertama kita jumpa Atau tentang pecahan hujan Yang menggerombol di belantara rambutmu Di Mei yang basah Walau kau Telah meninggalkan Menitip luka yang betapa perih Tapi sebagai yang paling mencintai Takan pernah kusemai benci Terima kasih Telah mengajariku bagaimana memahami luka Maaf jika tak ada air mata Selamat jalan Tjk—Ktbm 30 Juli 2011 Catatan Pagi Buta Dengan gegas kulintas subuh yang jatuh Di lengang Kota Tanjung Karang Lembab kelok jalan digigil sisa malam Yang menimbun embun di rapat gedung-gedung Pada remang lampu jalan di lengkung sebuah jalan menikung tercium aroma parfum perempuan muda yang letih usai menjaja cinta lewat seiris senyum ia sampaikan "sebab aku sahabat bulan yang berkarib dengan malam di kota ini aku tak lagi memiliki pagi" Sementara di timur paling jauh di kuncup fajar yang beranjak mekar pendar mimpi tumpas sebelum tuntas mimpi lelaki yang gundah menatap arah karena segenap penjuru mata angin tak lagi memberikan panduan sedang waktu kian enggan bersekutu ke mana teman di mana kawan taka satu juga rela berbagi peta, katanya perlahan satu-satu ia baca rambu biar tak sasar serupa masa lalu yang kelam melebihi malam dan di tapal mekar fajar dan pagi kelabu ia berkhayal tentang alamat semacam rumah tempat menambat penat dan menyimpan kenangan meski selalu bandang airmata saban ia mengingatnya Hajimena, September 2011 Hujan Pagi Hari Betapa santun hujan datang ini pagi Rintik demi rintik Rinai demi rinai Dengan rela mengunjungi takdirnya Meski harus pecah di batang-batang pinang Di daun-daun rimbun Di padang-padang gersang Di jalan-jalan lengang Di selasar pasar-pasar Aku terpana Dari balik gigil Jemari angin yang lentik Mengantar sekian rintik Menuju kaca-kaca jendela Bangku-bangku kayu ruang tunggu Beranda muka rumah-rumah kayu Dan ke wajahku Lalu bercengkerama Berbincang dan bernostalgia Mengenang saat-saat yang lewat Dengan bahasa begitu memesona Amboi, aku ternganga Dulu sekali aku pernah berkunjung ke tempat ini Ketika bukit-bukit mengirim aroma lebat hutan dan rimbun daun ujar sebutir rinai, lalu pecah berlari menuju lembah Begitupun aku Sekali waktu aku pernah bermukim di daerah ini Ketika pohon-pohon belum menjelma gedung Dan mata air belum berbalin air mata Ujar rinai yang lain dengan bahasa begitu paripurna Aku terkesima Lalu tubuhku menjelma hutan tiba-tiba Dan hujan menderas di mataku ---------- Anton Kurniawan, lahir di Sinarjaya, Lampung Barat. Pernah aktif KSS FKIP Universitas Lampung. Kini berderma di Sanggar Teater Komunitas Akasia, SMAN 1 Abung Semuli, Lampung Utara. |
Kepada Burung-Burung Gereja di Semulijaya